Can You See Me? 7

CHAPTER 7: TANPA DISADARI



Hari ini teman-teman sekelompoknya mengerjakan tugas di rumahnya. Mereka hanya ada satu mata kuliah yang perlu diikuti di kampus. Tadi pagi, Viko sudah memberitahu ayah dan Tata perihal kedatangan teman-temannya. Sekarang mereka sedang dalam perjalanan menuju rumahnya bersama-sama. Viko dan seorang temannya mengendarai motor, sedang yang lain menumpang di mobil Erik. Semuanya berjumlah 9 orang, antara lain: Erik, David, Emi, Vivi, Eve, Rina, Dicky, Evan dan Ahmad. Bik Ti bergegas membuka pagar sesaat setelah ia membunyikan bel.

Viko masih teringat jelas kejadian Vivi yang menitipkan surat cinta ke adiknya. Ngapain sih pake titip-titip segala, pikirnya, bikin malu aja. Vivi memang sudah lama mengejarnya, datang ke rumahnya dengan alasan meminjam catatan dan sebagainya tapi ia sudah menolaknya secara halus. Rupanya Vivi pantang menyerah, untungnya mereka hanya sekelas mata kuliah tertentu.

Ia menggiring masuk sepeda motornya, melepas helm dan menggantungnya di spion. Temantemannya mengikutinya. Kemudian ia melihat sosok Tata yang disinari matahari. Tata sedang membaca buku chicken soup di bangku taman, di mejanya terdapat jus tomat yang sudah setengah minum. Tata berhenti membaca, mendongak ke arahnya sementara teman sekelompoknya mengatur letak kendaraan mereka. Begitu menyadari kehadiran Tata, temanteman prianya spontan merapikan rambut dan balas menatap Tata penuh gaya, Viko mengamati. Disebelahnya, Vivi menyapa,

“hai Ta!”

Tata tersenyum dingin seraya mengabaikan senyum dan lambaian tangan teman prianya. Mereka berjalan masuk, begitu sampai d dalam, teman prianya langsung berkomentar.


“wow ada cewek cakep. Kamu kok gak pernah cerita sih,” celetuk Evan, menyikut Viko.

“tapi orangnya dngin man. Coba liat deh ekspresinya waktu aku pasang senyum kerenku, sedikitpun tidak tergerak,” sahut David sambil memperlihatkan senyum keren yang dimaksud ke anak-anak cewek.

Eva dan Emi saling pandang dan terkikik, Vivi menghela napas lalu menggeleng-geleng kepala.

“elo sih kalo senyum bikin takut orang,” komentar Rina.

“sayang aku udah punya cewek,” keluh Ahmad. “kasihan Ko, adikmu terpaksa patah hati.”

“kalo aku sih lebih berminat sama Vivi,” kata Dicky tanpa malu-malu menatap langsung ke arah Vivi. Diam-diam Vivi mencubit lengannya.

“masuk, masuk. Barang-barangnya taruh di dalam aja,” kata Viko mengatasi suara ribut temannya seraya membuka pintu kamarnya.

Tak lama kemudian mereka asyik mengerjakan tugas hingga selesai di ruang keluarga. Di selaselanya, Bik Ti mengirim keripik kentang sebagai camilan dan sirup leci. Sebagian temannya menguap, menggeliat, merebahkan diri di sofa, memainkan bolpoin, dan menarik napas lega.

“capek nih!” kata salah seorang temannya.

“lho?! In gambar siapa?” tanya Aldi sambil melambaikan secarik kertas HVS yang diperoleh dari dalam salah satu buku Viko dengan sketsa seorang perempuan yang menoleh ke arah mereka sambil tersenyum manis.

Teman-teman perempuan langsung tertarik.

“mana. Mana,” kata Emi, Vivi dan Eva kompak.

“lihat dong,” pinta Rina.

“hei! Jangan bongkar-bongkar punya orang sembarangan dong,” seru Viko hendak menyambar hasil gambarnya namun sudah keburu diambil Evan. Dalam sekejap, teman-temannya berkerumun di sekeliling Evan.

“wow cakep banget! Kok aku gak tau ya kalo kamu pinter gambar,” kata Evan takjub.

“dia sih di kampus kalo suntuk kerjaannya kan nggambar-nggambar di catatannya,” kata Ahmad menanggapi, melihat sekilas gambar itu.

“mirip orang beneran ya,” kata Dicky menilai.

“wih iya lho bagus banget,” sahut Eva mengagumi gambar hitam putih yang dilukis dengan pensil itu. Disebelahnya, Emi mengangguk setuju.

“lho ini kan klo gak salah gambar adikmu,” kata Vivi tepat sasaran. Viko mengangguk.

“oh iya ya. Kok aku baru sadar sih,” kata David menyalahkan diri sendiri. “gambar ini buat aku ya.”

“enak aja,” sahut viko, mengambil kembali gambar yang beredar tersebut. “gambar aja sendiri.”

“kamu kan bisa gambar lagi,” bujuk David.

“bisa sih tapi hasilnya gak bakal sama,” kata Viko serius, helai kertas itu dengan hati-hati agar tidak terlipat ke dalam bukunya lalu menyimpannya di rak.

“betul. Perasaan waktu menggambar kan nggak bisa sama,” sahut Rina menambahkan.

“udah ah. Pulang. Pulang,” ajak David kecewa.

“makan bareng dulu yuk, baru pulang,” ajak Erik. “dideket sini kan ada yang jual belut goreng.”

“enak ya?” tanya Emi. “aku belum pernah makan belut.”

“enak banget,” sahut Dicky. “apalagi kalo pake sambel. Pengen nambah terus.”

Mereka semua setuju, mengemasi barang-barang dan membawa kendaraan masing-masing keluar rumah. Ia berpamitan pada Bik ti, berpesan bahwa ia membawa kunci rumah jadi tidak perlu membukakan pagar. Tata masih asyik membaca, untung saja cuaca gak sepanas tadi.

Viko sampai dirumah sejam kemudian, ayahnya masih mengajar di kampus terutama ada asistensi bagi mahasiswa semester akhir, seperti biasa sibuk sekali. Viko memasukkan sepedanya ke garasi, lalu tampak olehnya Tata tertidur di meja. Buku bacaannya menutup, botol minumannya kosong dan berpindah tempat ke pinggir meja, terdorong sikutnya.

“ck ck gimana sih, bisa masuk angin,” gumamnya.

“Ta? Ta?” panggilnya sambil menepuk lengan adiknya ingin membangunkannya.

Sebagai jawaban, terdengar gumam lirih yang bagi Viko kelihatan aneh. Ia meraba kening adiknya dan cepat-cepat melepasnya. Badan Tata panas sekali, Viko langsung menggendongnya ke dalam kamar, menyuruh Bik Ti mengambilkan obat penurun panas. Obat yang sudah berupa serbuk itu dminumkan kepada adiknya lalu ia menjaganya sebentar. Viko sudah setengah menarik gagang pintu ketika sayup-sayup didengarnya sepotong namanya, “Vi..ko...” adiknya mengigau dalam tidurnya. Viko tersenyum memandang adiknya, membelai rambut Tata kemudian melangkah pergi.

***

Siang itu panas terik. Ayah pulang agak pagi dari kampus dan menghabiskan waktunya mengobrol dengan Risa. Tak lama kemudian, mereka kedatangan tamu beberapa mahasiswa yang diajar ayahnya. Kelihatannya hendak mengasistensi tugas mereka. 

Risa beranjak ke dapur hendak mengobrol dengan bibik. Tapi bibik sedang tidak ada di tempat. Ia melihat baskom berisi air didekat cucian. Tanpa pikir panjang Risa membenamkan wajah ke dalamnya sambil menghela napas. Beberapa detik kemudian ia bangkit dengan napas terengahengah, mengusap wajahnya yang basah.

“rasanya lumayan,” kata Risa tidak jelas. Lalu bersiap untuk menahan napas lagi, ingin melihat sejauh mana ia bisa bertahan dalam air yang dingin ini.

Risa berkali-kali membenamkan wajahnya ke dalam baskom, tanpa terasa sudah kecanduan. Ia sudah berhasil menahan napas paling lama satu setengah menit. Entah kenapa ia jadi teringat Viko. Hal ini membuatnya stress. Dinginnya air seakan mendinginkan kepalanya juga. Akhirakhir ini, Risa sedang memastikan perasaannya apakah ia menyukai Viko atau tidak. Ternyata ia memang menyukai Viko, ia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Ia sudah bersiap membenamkan wajahnya kembali ketika mendengar suara kaget bibik.

“lho non?! Itu kan buat nyuci sayur,” katanya sambil menunjuk potongan-potongan sayur di meja dekat jendela.

Setengah melamun, Risa tersadar. Air menetes-netes ke bajunya sementara bibik melongo memandangnya, seperti tidak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya.

“apa?” tanya Risa tidak mengerti, memandang bibik dan baki air di depannya bergantian, mendadak ia paham, “oh iya, biar aku ganti airnya.”

Risa buru-buru mengelap air yang menempel di wajah dan rambut depannya lalu mengisi ulang baskom dengan air yang baru. Bibik rupanya baru dari kamar mandi.

“tamunya ada berapa ya non?” tanya bibik sambil mengambil sirup dari lemari. Untung saja bibik sudah melupakan kejadian yang memalukan tadi.

Kalau gak salah 4 orang. Sama ayah jadi 5. Bibik buat aja 6 gelas untuk jaga-jaga,” kata Risa menganjurkan selagi bibik meletakkan gelas dengan berjajar rapi di meja.

Bik Ti sedang membuatkan minuman untuk tamu lalu mengantarkannya, sedangkan Risa memandang sejenak isi kulkas dan kemudian mendapat ide. Ia mengambil beberapa buah tomat dingin, mencucinya lalu memotong-motong menjadi beberapa bagian. Setelah selesai, ia menaburkan gula secukupnya. Orang pasti mengira dia vegetarian, tapi makan semangkuk tomat dingin yang manis di hari panas begini akan menyegarkan.

Baru seminggu yang lalu ia menyadari perasaan sukanya kepada Viko. Sekarang ia malah takut berada di dekat-dekat Viko, ia takut terlihat gugup terlebih lagi ia takut lebih menyukai Viko dari sebelumnya. Maka ia selalu membuat percakapan yang disertai debat seru untuk menekan perasaannya. Huh, cukup sulit dan melelahkan. Sampai kapan ia harus seperti ini. Masa sih Viko jelek itu bisa membuatnya merasa bersalah karena menyukai Viko, seharusnya ia menghapus perasaan ini dari awal. Dengan perasaan menyesal ia membentur-benturkan kepalanya ke kulkas.

“kamu kenapa Ta?” tanya Viko heran. Ia baru datang dan rupanya tertarik melihat Risa membenturkan kepalanya.

“DEG! Aduhh! Disaat seperti ini, orang yang paling ingin dihindarinya justru mendadak muncul di hadapannya. Ia pasti tampak sangat konyol. Risa menguasai diri, bersikap sepert biasa. “kepanasan,” jawab Risa asal saja.

Tepat saat itu Bik Ti kembali ke dapur, begitu melihat Viko segera menawarkan minuman dingin yang tersisa.

“mau sirup leci den?”

“nggak usah bik, makasih. Lho?! Kenapa berhenti? Katanya kepanasan,” tanya Viko bergurau, susah payah menahan tawa.

“susah ngomong sama kakak,” kata Risa angkuh, menyambar mangkuk tomatnya.

“ap? Hei.. Ta,” panggil Viko hendak mencegah Risa.

Risa berpura-pura tidak mendengar dan mengunci pintu setibanya di kamarnya yang terang benderang. Ia mendudukkan diri di karpet dan memakan tomat dinginnya.

Viko berjalan masuk rumah dengan tertatih-tatih, tangannya tergores di beberapa tempat, celananya yang robek memperlihatkan salah satu lututnya yang luka. Tempurung lututnya terasa seperti kena sakit gigi. Ia terpaksa menopang berat tubuhnya pada satu kaki. Ia menahan rasa sakit sepanjang perjalanan pulang. Ia berteriak memanggil-manggil bibik. Bibik datang secepatnya dan memekik ketakutan melihat luka-lukanya. Viko menyuruhnya mengambil kotak obat sementara ia membaringkan diri di kursi.

Ia masih shock dengan tabrakan yang baru saja dialaminya, sungguh tidak disangka, nyaris saja. Untunglah si supir angkot yang salah, jadi tidak ribut ke kantor polisi. Supir angkutannya jelas tidak senang melihat angkutannya agak melesak bekas tertabrak ban sepedanya tapi itu tidak seberapa dibanding Viko yang terpental akibat menahan laju sepeda motornya mendadak.

“dia sih enak pake mobil, paling parah ya mobilnya yang kena bukan orangnya,” gerutu Viko jengkel, meniup lengannya yang perih akibat tergores aspal lalu memandang lututnya yang meneteskan darah tanpa henti.

Viko merobek robekan pada lututnya supaya bisa melihat seberapa dalam lukanya. Tata datang mendengar suara ribut dari ruang tamu dan mendapatinya sedang kelelahan di kursi. Wajah adiknya langsung pucat pasi seakan melihat hantu, sejenak, berdiri mematung lalu cepat-cepat melihat keadaannya.

“ya ampun Vik..., kok bisa..,” kata Tata gemetar. Matanya beralih dari luka-luka di tangannya kemudian melihat lututnya, kedua tangannya terkepal.

“ini den,” kata bibik tergesa-gesa, membawakan kotak obat. “perlu bibik telponin dokter den?”

“gak usah bik, diobati sendiri aja,” jawab Viko seraya hendak mengambil kapas tapi buru-buru direbut Tata.

“sini biar aku aja,” kata Tata tegas, Viko sampai tidak berani membantahnya.

Adiknya segera membersihkan luka-luka di tangan dan lututnya dengan Rivanol, menutup lukanya dengan Betadine, meniupnya sebentar agar cepat mengering. Ia susah payah menahan sakit ketika Tata mengobati lututnya, sekarang Tata sedang membalutkan perban ke sekelilingnya.

“makanya ati-ati dong.”

Viko tidak tahu apakah adiknya sedang marah atau cemas. Dia sebenarnya ingin menjelaskan bahwa bukan dia yang tidak berhati-hati, namun mengurungkan niatnya. Dia merasa lemah untuk berdebat dengan adiknya dan diam saja sementara Tata menyimpul ikatan perbannya.

“nah selesai. Bisa jalan ke kamar? Kubantu ya,” usul Tata tanpa menunggu jawaban darinya. “biiikk, dini bantu bentar.”

Maka ia dipapah oleh Tata dan Bik Ti ke kamarnya. Tata mendirikan bantal supaya Viko bisa bersandar di tempat tidur. Tata rupanya berusaha menyembunyikan kekhawatirannya dari yang tampak di wajahnya. Tata duduk di sampingnya, memandangnya dalam diam. Viko tersenyum, mengelus kepala Tata dengan sayang.

“aku sudah agak baikan. Makasih ya.”

“sungguh???” tanya adiknya tidak yakin, masih tampak cemas.

“beneran,” jawab Viko meyakinkan.

“baiklah. Istirahat aja dulu, kutinggal ya,” kata Tata ramah, beranjak dari tempat tidurnya.

“Tunggu!” kata Viko tiba-tiba sambil menarik tangan adiknya. Mendadak perasaan aneh mengalir dalam tubuhnya. Ia sendirir tidak tahu apa yang sedang dilakukannya.

“apa?” tanya Tata heran sambil menatap tangan Viko yang menggenggam pergelangan tangannya.

“oh, nggak. Nggakpapa,” kata Viko gugup lalu melepaskan tangan adiknya.

“kutinggal ya,” kata Tata berpamitan. Viko tersenyum mengangguk.

Pintu menutup di seberang. Sebenarnya Viko ingin menahan adiknya tapi tidak ingin membuatnya lebih khawatir. Ia memaksakan diri untuk tidur, melupakan sejenak peristiwa tidak mengenakkan itu. Rasanya lamaaa sekali ia baru bisa tidur. Sorenya ia terbangun dengan perasaan plong. Tak lama kemudian bibik membawakan susu coklat hangat ke kamarnya.

“baru bangun den? Ini bibik bawakan minum. Non Tata yang suruh.”

“Tatanya sekarang dimana bik?”

“ada di kamar lagi baca buku di tempat tidur.”

“dia nggakpapa kan bik? Apa penyakitnya mulai kambuh?” tanya Viko khawatir.

“bibik nggak tahu den, tapi kelihatannya non Tata baik-baik aja. Bapak sebentar lagi datang,” jawab bibik sama cemasnya seraya meninggalkan kamarnya. “kalo butuh apa-apa panggil bibik ya den.”

Ternyata Tata baru muncul malam harinya. Viko sudah bertanya-tanya apakah Tata akan datang melihatnya. Entah mengapa hatinya tidak tenang bila tidak melihat adiknya.

“ini kubawain roti lapis,” kata Risa riang, menyodorkan piringnya ke arah Viko.

“thanks.”

Risa terdiam memandang kakaknya, beberapa saat. Luka-luka ditangan Viko sudah mengering, sebagian lebamnya membiru kehitaman. Risa meraba memar ditangan Viko.

“gimana? Masih sakit? Apa gak perlu diperiksa ke dokter?” kata Risa memberi saran.

“belum tahu. Lihat aja besok. Kalau udah mendingan ya gak perlu,” jawab Viko sambil menghabiskan roti lapisnya dalam beberapa lahap. Ia mengambil minum dari meja di sebelahnya, meneguknya sampai habis.

“ups,” katanya ringan, tersenyum memandangnya, sambil menepuk-nepuk perutnya. “kekenyangan.”

“kata ayah, kakak ini ceroboh sekali. Makanya biar lebih aman pasang kaca spion yang sebelah kiri juga,” kata Risa memberi nasehat, seakan-akan inilah penyebab kecelakaan yang menimpa Viko.

“hah?! Tapi ini kan gak ada hubungannya sama kecelakaan ini. Andaikata dipasang pun sama sekali gak membantu,” seru Viko tidak setuju.

“iya, iya. Kakak pasti mau bilang walaupun kita sudah hati-hati, orang lain belum tentu hati-hati. Iya kan?” kata Risa menebak-nebak.

“iya, iya kamu memang pintar,” sindir Viko ngambek.

Tiba-tiba Risa memeluk Viko erat-erat. Entah mengapa ia berbuat seperti ini. Yang dirasakannya sekarang hanyalah tidak ingin kehilangan Viko. Kadang-kadang perasaannya memang membuatnya bertindak bodoh. Kepalanya bersandar pada dada Viko, membuatnya bisa mendengarkan detak jantung di dalamnya.

“ke.. kenapa Ta?” tanya Viko kaget melihat adiknya bertingkah aneh.

“Tata gak mau kehilangan kakak,” jawab risa, masih belum melepas pelukannya.

“kehilangan gimana?” tanya Viko bingung, “kalau maksudmu gara-gara kecelakaan ini...”

“bukan itu saja,” potong Risa. “kalau aku sudah tidak ada. aku akan merindukanmu... Viko...”

“kamu ini kenapa sih?” kata Viko sedih, menarik lepas pelukan adiknya lalu memegang wajah adiknya. “seperti bukan Anita saja. Dengar ya, kakak juga tidak ingin kehilanganmu, ayah juga tidak ingin kehilanganmu. Mengerti?!”

“hm..,” gumam Risa lesu, mulutnya cemberut. Ia tahu benar Viko mengkhawatirkan adiknya, tapi bila Viko tahu ia bukan Anita, apakah Viko akan merasa kehilangan juga.

Risa memandang mata Viko lekat-lekat seakan bertanya dari dalam hatinya apakah Viko dapat melihat dirinya. Apakah Viko bisa melihat diriku yang sesungguhnya? Aku ada disini, bisakah kau melihatnya? Aku bukan Anita, bisakah kau melihatku dalam diri Anita? Mata Viko balas menatapnya tidak mengerti. Bayangan wajahnya terpantul disana. Sekaliii saja, bisakah kau melihatku? Bisakah kau merasakan kehadiranku?

“aku mau kembali ke kamar,” kata Risa tiba-tiba. Yaah, sia-sia saja mengharap Viko menyadari keberadaannya. Setidaknya ia ingin bersama Viko lebih lama tanpa perasaan tertekannya.

“tapi sebelum itu, bolehkah aku memelukmu lagi?” 

Viko bimbang, ia tidak langsung menjawab, heran melihat ulah adiknya.

“sepuluh menit,” kata Risa menegaskan, memandang Viko penuh harap.

“baiklah,” kata Viko pelan, memandang kasihan padanya. “kemrilah.”

Risa dengan perasaan penuh terima kasih memeluk Viko. Viko mendekapnya, membelai rambut panjangnya dengan lembut. Risa dapat merasakan dan mendengarkan detak jantung Viko. Jarang sekali ia mempunyai kesempatan seperti ini. Aku ingin mendengarnya lebih lama, batin Risa penuh harap. Tidak lama lagi, ia akan sangat merindukan orang ini. Walaupun sedih, ia senang tuhan telah memberikannya kesempatan bertemu dan mengenal Viko. Risa menyadari bahwa ia sangat membutuhkan orang ini, sampai kapanpun untuk tetap berada disisinya.

Andai saja ia bisa hidup lebih lama, ia akan sangat berterima kasih. Tidak peduli apakah Viko menyayangi dirinya atau menganggapnya sebagai Anita. Asalkan bisa berada di dekatnya, ia sudah merasa bahagia. Risa tidak menyangka, dulu ia takut akan kematian, gelisah akan identitasnya, dan bingung apa yang aan ia lakukan. Sekarang semuanya itu tidak penting lagi. Yang ia takutkan hanyalah kehilangan Viko. Ia tidak akan bisa berbicara, memilukan. Dan tanpa ditahan lagi, ia bergumam lirih.

“aku menyukaimu Viko,” bisiknya sangat pelan, tapi masih bisa sampai ke telinga Viko. Risa yakin bahwa dirinya benar-benar menyukai Viko. Ia sadar menyukai seseorang bukanlah suatu kesalahan.

Viko membelai adiknya, entah kenapa perasaannya kalut. Perasaan apakah ini? Saat ia akan melepas pelukan adiknya nanti, walau sekarang masih dalam pikirannya, seakan menuntutnya untuk menyerahkan sebagian nyawanya. Dia di sini. Anita, adiknya. Dengan aman berada dalam dekapannya, tapi... sampai kapan? Benarkah ini Anita? Viko seperti melihat Anita yang lain, Anita yang tidak pernah dikenalnya selama bertahun-tahun. Apakah ini hanya perasaannya saja? Tapi baru kali ini ia merasa seperti ini. Apa yang harus ia lakukan...

Kemudia... Viko mendengar bisikan pelan adiknya yang hampir tidakterdengar. Bunyinya seperti... ‘aku menyukaimu Viko’. Untuk sepersekian detik jantungnya terasa berhenti lalu mendadak berganti berdetak kencang, matanya membelalak kaget, perasaannya tidak terkendali. Benarkah? Benarkah apa yang baru saja didengarnya? Tangannya kaku, hawa dingin merambati tubuhnya. Hatinya perlahan serasa akan meledak. Kenapa? Kenapa dia merasa begini? Wajar bila adiknya menyayanginya. Jadi kenapa. Kenapa ia menjadi tidak terkendali. Andai saja perempuan dalam dekapannya kini bukanlah adiknya. Ia pasti sudah jatuh hati padanya.

Tidak. Tidak. Ia tidak boleh begini. Ia tidak bisa berlaku seperti ini terhadap adiknya. Tapi kenapa hatinya sangat sedih setiap kali ia hendak melepas adiknya. Menit demi menit berlalu, tapi ia masih belum bisa melakukan apa-apa.

Perempuan ini, atau lebih tepatnya adiknya... tidak akan lama lagi berada dalam dekapannya seperti sekarang. Ia tidak akan pernah berjumpa, mendengarnya bicara, melihat senyum tulus yang berasal dari lubuk hatinya dan pandangan matanya, terlebih menggoda adiknya yang selama ini membuatnya senang. Sekarang ia merasa lemah dan tidak berdaya.
Previous
Next Post »
Partner Kiryuu