Can You See Me? 6

CHAPTER 6: PERASAAN TERPENDAM



Risa bermimpi buruk malam itu. Di hadapannya berdiri seorang laki-laki, Risa tidak dapat melihat dengan jelas siapa pria tersebut karena sosoknya gelap, seakan membelakangi arah datangnya cahaya. Sosok itu mulai berbalik dan berjalan menuju arah cahaya itu, berusaha mengejarnya. Dia sudah semakin dekat sekarang.

Tunggu! Tunggu dulu, teriaknya. Risa sengaja berlari sampai paling tidak mendahului pria itu dengan maksud untuk menghadangnya supaya jangan pergi. Risa sudah selangkah di depannya sekarang, ia berhenti tepat di depannya dan menatap pria itu dengan disinari cahaya dari belakang. Sosok itu dengan cepat berganti menjadi kecoak raksasa seukuran manusia, sungutnya yang panjang bergerak-gerak, kakinya yang beruas-ruas bergerak-gerak hendak menjangkaunya. Risa memekik ngeri, melangkah mundur dan menjerit sekuatnya.

“TIDAKKKKK! Auw!” Risa menjerit disusul bunyi debum keras dan pekik kesakitan, ia terjatuh dari ranjangnya. Ia bangun sambil memijat-mijat belakang kepalanya yang terbentur dan melihat selimutnya menggulung tak beraturan di lanti. “aduhh sakit.”

Risa memandang jam mini di mejanya. Pukul 07.00. Ia bangun kesiangan, dilihatnya seleret cahaya matahari menembus kelambu jendela kamarnya. Risa bangkit dengan badan pegal-pegal sehabis jatuh, berjalan ke arah jendela dan menyibak kelambunya. Sesaat cahaya di luar jendela menyilaukan matanya sehingga ia buru-buru menjauh.


Ia melangkah ke kamar mandi dalam keadaan kacau, masih memakai piyamanya dan belum merapikan tempat tidurnya. Mimpinya masih terngiang-ngiang di kepalanya. Dengan suntuk ia membuka pintu kamar mandi, mengambil pasta gigi dan mulai menggosok giginya sambil menatap bayangannya yang masih mengantuk di cermin tanpa menyadari ada orang lain yang sudah lebih dulu berada di sana.

Tirai panjang bergemerincing membuka disertai bunyi pancuran yang dimatikan, kakaknya balas memandangnya dari tirai yang terbuka. Risa menolehkan wajahnya sesaat tampak tidak mengerti ketika memandang wajah kakaknya, ia kembali memandang cermin, untuk beberapa detik dan kemudian tersadar. Risa memandang kembali wajah kakaknya, matanya terbelalak kemudian berteriak, busa pasta gigi berhamburan keluar dari mulutnya, ucapannya tidak jelas.

“WAAAA!!!!” Risa segera membalikkan badannya menghadap tembok, dahinya membentur dinding saking cepatnya ia berbalik. “auw.”

Ia tidak berani melakukan hal lain, yang ada di pikirannya hanyalah menutup mata rapat-rapat, sebelah tangannya masih memegang sikat gigi, bertanya panik,

“Afa hang kafu lahuhan fi sihi?”

“Gimana sih Ta! Orang lagi mandi kok malah nyelonong masuk,” kata Viko jengkel selagi memakaikan handuk ke sekeliling pinggangnya. “udah, sekarang kamu boleh balik.”

Risa berbalik takut-takut, mengusap sisa busa pada mulutnya. Kakaknya berusaha menyibak rambutnya yang basah ke belakang. Melihat kakaknya tidak semarah yang ia duga, Risa memberanikan diri membuka mulut.

“pintunya gak di kunci, aku masih agak ngantuk jadi gak denger bunyi showernya,” jelas Risa. Setelah memandang adiknya sejenak, Viko keluar tanpa mengucapkan apa-apa, membuat Risa semakin bersalah.

Setelah Viko menghilang dari pandangannya, Risa buru-buru menutup dan mengunci pintu dengan “klik” di belakangnya. Dia masih berdiri menyandar pada pintu, yang barusan terjadi, jantungnya berdebar kencang sekali. Kedua tangannya menekan dadanya seakan jantungnya setiap saat akan keluar.

“siapapun pasti kena serangan jantung kalau dikejutkan seperti ini,” gumam Risa, yang sekarang sedang menepuk-nepuk kedua pipinya untuk menyadarkannya. Ia bangkit, membuka keran air dan membasuh mukanya berkali-kali. Hampir saja, pikirnya, untung aku belum melihat terlalu jauh. Kemudian ia melanjutkan kegiatan menggosok giginya yang tadi sempat terhenti seakan tidak terjadi apa-apa. Risa keluar beberapa menit kemudian, hendak menuju kamarnya.

“sial banget aku hari ini, belum apa-apa udah ketemu kecoak raksasa, kepala sakit, ditambah lagi Viko yang muncul tiba-tiba di sebelahku sampe gak sengaja nelan busa. Ntar apa lagi kira-kira,” gerutunya.

“Ta, makan sama-sama yuk,” bujuk ayahnya dari meja makan begitu melihat Risa keluar dari kamar mandi. 

“iya, bentar lagi Yah,” jawab Risa. Ia menutup pintu kamar berganti pakaian secepat kilat, menyisir rambutnya, merapikan tempat tidurnya dan buru-buru keluar kamar bergabung dengan ayahnya.

“ayah masuk jam berapa?” tanyanya.

“jam 10, sekalian ntar bareng kakakmu berangkatnya. Ada rencana mau ngapain hari ini?” 

“nggak tau,” Risa menggelengkan kepala. “ntar habis mandi, mungkin mau keluar jalan-jalan.” “pastiin dulu ngunci pintu!” nasehat Viko yang ikutan duduk di meja, melahap roti isi telur dadar sambil membuka-buka makalah di meja.

“belajar dari kesalahan rupanya,” sindir Risa, berusaha tidak tampak bersalah.

“kelihatannya sibuk sekali, ada ujian?” tanya ayah kepada Viko. Ia menyeruput kopi hangatnya dan menatap putranya dengan serius.

“ada presentasi jam 1, ya paling tidak harus tau intinya. Sejauh ini sudah ada dua keompok yang dapat nilai jelek,” kata Viko.

Saat itu telepon berdering, Risa mengangkat telepon yang rupanya ditujukan untuk Viko.

“kak, dari Erik.”

Viko bangkit, meraih gagang telpon lalu mengobrol. Lima belas menit kemudian, semua orang tampak terburu-buru. Ayah menyambar jaketnya, Risa mengambilkan kacamatanya yang tertinggal di meja kerja. Viko menarik kencang tali sepatunya, memanggul tasnya dan menyusul ayah yang sudah menunggu di luar.

“sampai nanti kecil,” kata Viko sambil mengacak rambut Risa begitu melintasi Risa yang hendak menutup pagar. Risa menatap galak kakaknya, mulutnya sewot.

Hanya Risa yang tampaknya tidak dikejar-kejar waktu namun ia tidak keberatan. Kemudian seperti yang sudah di rencanakan, Risa mandi, bersiap-siap pergi. Dalam perjalanan menuju dapur, Risa melihat makalah yang tadi sibuk dibaca kakaknya tertinggal di meja. Risa memandang jam dinding kemudian meraih makalah di meja.

“dasar ceroboh!”

***

Risa tiba di kampus kakaknya setelah terlebih dahulu berpamitan ke Bik Ti. Berkali-kali ia bertanya pada orang yang lewat atau satpam yang kebetulan dijumpainya untuk menanyakan tempat. Beginilah kampus, luas sampai bikin nyasar orang, terangnya pada diri sendiri.

Akhirnya Risa berada di gedung tempat kakaknya kuliah yang penuh dengan mahasiswa berseliweran. Walaupun Risa tidak melihatnya tapi Risa yakin bahwa kerumunan mahasiswa di sekitarnya memandangnya perhatian dan ingin tau, berbisik-bisik, menunjuk-nunjuk ke arahnya. Pasti dia tidak kelihatan seperti mahasiswa, pikirnya.

Wow cowok itu keren juga, batin Risa, menatap lekat-lekat cowok berkacamata yang sekarang berjalan di depannya. Risa mengamati orang-orang di dekatnya, kadang tampak terpesona, kadang ngeri sampai bergidik. Ada yang rambutnya setengah disemir, cowok yang telinganya punya beberapa tindikan, cowok rambut gondrong, cowok rambut kribo kayak pake helm super. Eh ada mahasiswa asing juga, yang itu malah ada yang campuran korea. Ternyata di kampus banyak kumpulan orang aneh, pikirnya. Mau tak mau ia teringat dirinya seperti sedang pergi ke kebun binatang.

“sebenarnya aku ke sini mau ngapain sih,” katanya menyadarkan diri sendiri.

Dia sedang mencari kelas kakaknya ketika ada seseorang bersuara lembut memanggilnya dari belakang.

“Anita? Anita kan? Ternyata benar kamu. Mau mencari Viko?” kata perempuan itu.

“Ng..eh..,oh mau ngantar makalah yang tertinggal,” kata Risa bingung. Ia tidak mengenalnya. Boleh dikatakan Risa tidak mengenal siapapun sebenarnya selain Viko dan ayahnya.

“mampir bentar ke kelaku ya, ntar makalahnya kutitipin ke temen sekelasnya Viko.”

Risa berharap lebih baik tidak ikut, hanya saja perempuan itu terlanjur menarik tangannya, membawanya menuju kelas yang dimaksud. Di dalamnya ada beberapa mahasiswa yang duduk bergerombol dengan asyik membicarakan sesuatu, mereka sekilas menatap ke arahnya.

“kebetulan sekali kau datang, aku benar-benar putus asa. Mau nggak mbantu aku?”

Merasa dirinya tidak punya pilihan, Risa menjawab tidak yakin. “ya.”

Sekilas tampaknya perempuan itu sedang mencari-cari sesuatu dalam tasnya, Risa ikut penasaran sampai akhirnya ia melihat amplop surat disodorkan kepadanya secara sembunyi-sembunyi.

“anggap saja aku berhutang satu padamu. Aku ingin menyerahkan surat ini pada kakakmu, aku sudah berkali-kali menelponnya tapi tidak ada tanda-tanda yang sama. Yaah setidaknya kita harus terus mencoba, iya kan” katanya, lalu meletakkan telapak tangan kananya di pipi sambil menghela napas, kelihatan resah.

“Eh eh iya,” Risa kaget karena mendadak dimintai pendapat, semakin merasa dirinya kelihatan bodoh. Untung saja ia diselamatkan dari dering bel yang menggema, menandakan waktu istirahat sudah habis. Risa buru-buru pamit. Cewek tadi mengucapkan terimakasih sampai histeris dan berpesan untuk sering-sering berkunjung.

Risa tidak ingat perjalanannya keluar dari kampus. Tiba-tiba saja ia sudah berada di pertokoan ramai, tanpa sadar masih memegang surat tadi. Ia menunduk memandangnya, membaliknya dan melihat tulisan tangan kecil-kecil,

To : Viko
From : Vivi

Risa membisu, menyelipkan surat itu dalam tas tangannya. Ia berjalan termangu-mangu dengan kepala tertunduk, tanpa tau apa yang ingin dilakukannya, tidak memperhatikan ke arah mana dia pergi. Keramaian di sekitarnya terasa begitu jauh.

Baru saja ia menyadari bahwa dirinya tidak mengenal dunia Viko di kampus. Selama ini yang ia kenal hanyalah Viko di dalam rumah. Ia lupa bahwa rumah bukanlah satu-satunya tempat dimana Viko menghabiskan besar waktunya. Apakah Viko saat berada di rumah sama dengan Viko saat berada d kampus? Lagi-lagi Risa merasa asing. Kenapa kenyataan ini begitu mengganggunya? Kenapa ia merasa agak kehilangan? Kenapa ia peduli terhadap Viko? Apakah karena Viko sudah dianggapnya sebagai keluarga sehingga ia agak sedih tidak mengetahui kegiatannya di uar rumah?

Boleh! Bukankah sejak semula ia tidak mengenal siapa-siapa. Mungkin ia menjadi terlalu bergantung pada orang-orang yang menganggapnya keluarga. Jika tidak ada keluarga yang menampung dan memperhatikannya seperti ini, dia sudah seperti anak kecil yang tersesat di jalan. Ia jadi sangat berterima kasih kepada ayah, Viko dan Bibik. Ia terus berjalan sambil menunduk. Tapi... Viko itu sebenarnya orang yang bagaimana...

Setelah merasa cukup berjalan, Risa berhenti. Ia menengadah, tak sengaja melihat papan bertuliskan FLORIMA tak jauh darinya, tanpa pikir panjang Risa masuk ke dalamnya dan menghirup aneka wangi bunga menyegarkan. Toko bunga itu menjual beraneka macam bunga, ada yang impor segala.

Toko bunga tidak jauh beda dari toko permen, menurutnya. Segala yang dijual tampak berwarnawarni. Risa sangat menikmati suasananya. Ia berkeliling sampai melihat bunga kesukaannya, mawar putih, di antara kerumunan antorium merah jambu dan dahlia. Pemiliknya seorang tante memakai celemek berenda, ia mengambil beberapa tangkai bunga yang diinginkan Risa lalu merangkainya.

Risa membayarnya sambil mendengarkan penjelasan ramah tante itu bahwa toko ini dilengkapi jasa pengiriman sehingga para pelanggannya hanya tinggal pesan lewat telepon bila membutuhkan sesuatu. Tokonya buka dari hari Senin sampai Minggu, libur hanya saat libur nasional. Risa gembira mendengarnya karena jika ia ingin membeli bunga tidak perlu repot keluar rumah. Maka dari itu ia menerima kartu nama yang diulurkaan tante pemilik toko dari dalam laci mejanya.

Risa mengurung diri sepanjang siang itu di dalam kamarnya, duduk bersandar pada tempat tidurnya, memandang keluar jendela. Sebelumnya ia berpesan pada Bik Ti supaya jangan diganggu, ia mau tidur. Ia tidak mengerti penyebab kemurungannya ini. Apa dia dibuat kesal kakaknya yang membuatnya sibuk ke sana ke mari? Apa ia mulai lelah dengan hidup yang dijalaninya saat ini? Apakah ia merasa terasing? Bukan, bukan itu jawabannya.

Sebenarnya ia takut mengakui sesuatu. Sesuatu yang menurutnya tidak boleh terjadi. Sesuatu yang tanpa sadar tersimpan dalam hatinya. Apa ia mulai tertarik pada Viko, kakaknya? Ia mempertimbangkan sebentar. Inilah penjelasan yang masuk akal, kenyataan yang tidak ingin diakuinya. Ia hanya bisa mengakuinya pasrah. Selama ini ia menjaga jarak dengan kakaknya tanpa disadarinya. Mungkin ia selalu ribut, berlagak galak, dan tidak mengacuhkan kakaknya ketika mereka sedang berduaan tapi sebenarnya ia khawatir, benar-benar khawatir.

“bodoh! Bodoh!” Ia membenturkan kepalanya ke bantal yang dipeluknya.

“apa yang kupikirkan! Kau ini adiknya, setidaknya Viko mengira begitu. Memang apa bedanya. Toh aku tidak tahu siapa diriku.”

“andai saja Viko tahu dia bukan adiknya...,” Risa membayangkan apa kira-kira reaksi Viko, “mungkin ia tidak percaya pada awalnya, tapi bisa saja dia sadar adiknya selama ini seperti orang lain, atau malah dia akan marah karena orang lain ada dalam tubuh adiknya, nantinya malah bertanya macam-macam namun aku tidak bisa menjawabnya. Pasti aku kelihatan idiot.”

Ini tidak boleh terjadi. Rasa sukanya ini justru menambah masalah saja. Sudah cukup rumit semua hal yang telah dialaminya tanpa ditambah perasaan pribadinya. Cinta sepihak sangat menyiksa. Memangnya Viko akan membalasnya, TIDAK MUNGKIN! Kenapa siih ia harus menyukai Viko. Kenapa ia jadi takut menyukai seseorang?

“bodohnya aku,” kata Risa memelas, menengadahkan kepalanya ke atas memandang langitlangit.

Tidak mudah baginya setelah menyadari perasaannya terhadap Viko. Yang paling membuatnya gelisah adalah perasaan bersalahnya. Ia merasa bersalah telah menyukai seseorang yang menganggapnya keluarga. Terlebih ia berada dalam tubuh adiknya.

“Bagaimana aku harus bersikap di hadapannya nanti? Bagaimana aku berani memandangnya?”

Tenang saja. Anggaplah semua ini tidak pernah terjadi. Jadi bersikaplah seperti biasa. Mungkin saja dirinya tidak benar-benar menyukai Viko. Mungkin ia hanya tertarik saja. Seiring berjalannya waktu, ia akan kembali menerima Viko sebagai kakaknya, bukan orang yang disukanya.

“Tapi... kenapa aku sendiri merasa tidak yakin?”

Tak bisa disangkal dia menyukai Viko walau tidak tau semenjak kapan. Tapi aku tidak bisa terus-menerus memendam perasaan ini, pikirnya, selain itu hidupnya tak lama lagi. Dia tidak akan punya kesempatan berjumpa lagi dengan Viko. Suatu saat pasti tiba bagiku untuk mengatakan siapa diriku. Tak peduli bagaimana Viko menanggapinya, apakah ia akan membencinya atau menghindarinya. Yang penting ia bisa merasa lega mengutarakan unek-unek dalam kepalanya. Andai saja itu tidak akan pernah datang...

Risa tidak berniat keluar kamar. Nafsu makannya hilang, belum lagi dia tidak ingin melihat tampang Viko ditambah surat yang harus diserahkan ini. Sepanjang waktu itu dihabisknnya dengan menghibur diri menatap mawar putih diseberang tempat tidurnya.

Viko sampai dirumah pukul 07.00. Risa mendengar suara sayu-sayup Viko yang sedang mencarinya.

“ayah belum pulang Bi?”

“Belum den. Hari ini memang ada acara.”

“Tata mana Bi? Untung dia mengantar makalahku tepat waktu. Sukses besar!” kata Viko riang.

“Sejak pulang tadi terus di dalam kamar, tidur, belum makan dari tadi siang. Bibi sudah manggilmanggil tapi tidak ada jawaban,” jawab bik Ti.

“Apa??? Biar kubangunkan.” 

“jangan den. Non Tata mungkin masih capek.”

“Tapi dia belum makan!”

“yasudah den. Bibi nurut aja.”

“Ta? Bangun Ta? Makan dulu, bentar lagi ayah pulang. Pasti khawatir kalo kamu belum makan,” kata Viko lantang sambil menggedor pintu kamarnya. “Ta, bangun dong. Mau tidur sampai kapan. Nanti kan bisa dilanjutin lagi.”

Risa tidak bisa berpura-pura tidur lebih lama lagi, lalu ia menjawab,  “masuk aja.”

Pintu berderit terbuka, Viko melihat adiknya sedang bersandar, wajah adiknya terlihat pucat. Ia duduk di tempat tidur, meraba kening Tata. 

“enggak demam,” kata Viko lega tapi Tata tidak memandangnya.

“berisik tau! Mana bisa tidur,” kata Risa galak.

“kamu kenapa? Gak enak badan? Capek habis pergi tadi?”

“sakit kepala,” jawab Risa muram lalu menengadah menatapnya. Melihat ketidakyakinan diwajah Viko, Risa buru-buru mencari topik untuk mengalihkan perhatian, “ada titipan surat, tuh ambil di tasku. Aku mau makan dulu.”

Tanpa berlama-lama Risa turun dan menyantap makan malamnya, meninggalkan Viko yang masih memandang cemas dirinya.

***

Paginya Risa bangun kesiangan dengan perasaan campur aduk. Ia tidak bisa tidur nyenyak. Setiap beberapa jam sekali ia terbangun. Kenapa sih ia tidak bisa melupakan soal Viko sebentar saja, pikirnya sebal. Ia merapikan tempat tidurnya, lalu menggosok gigi. Ayah dan Viko sudah berangkat. Bibi menyapanya ramah.

“makan dulu non,” ajak bibi.

“iya ntar aja bi,” jawab Risa tersenyum.

Risa kembali ke kamarnya untuk mengganti piyamanya dengan kaos dan celana selutut. Sewaktu ia tengan menyisir rambutnya, mendadak badannya nyeri seperti ditusuk, tubuhnya lemas. Risa menggapai tempat tidurnya, jantungnya berdegup lebih cepat. Risa membatin minta tolong. Rasanya lamaaa sekali. Tubuhnya menegang, meronta kesakitan sampai ia merasa dirinya hampir pingsan, matanya agak kabur.

Selepas sepuluh menit kemudian pandangannya jelas kembali walaupun badannya masih terasa lemah. Terengah-engah ia menelentangkan tubuhnya di ranjang. Keringat dingin mengalir dari telinga. Bagaimana ini. Ia akan mati. Sekarang Risa baru menyadari betapa seriusnya penyakitnya. Ia tidak bisa membayangkan bahwa Anita mengalami sakit seperti ini selama bertahun-tahun. Haruskah ia mengalami ini? Kepada siapa ia harus berbagi rasa takutnya? Sudahlah. Untuk apa takut, pikirnya sambil memejamkan mata berusaha menenagka diri. Obatnya sudah habis, ia belum meminumnya lagi pagi ini. Kalau tidak salah ayah menyimpan persediaan obat dikamarnya.

Merasa pulih walau tampak shock, Risa bangun. Rasanya aneh sekali. Sejenak kamu merasa kesakitan luar biasa namun setelah tidak merasa apa-apa kau menganggap kejadian tadi seolah tidak pernah terjadi. Melupakannya begitu mudah hingga kau mengingatnya kembali saat mengalaminya lagi. Padahal waktu penyakitnya kambuh, rasanya ia begitu tidak berdaya. Seakan waktu berhenti pada saat itu.

Risa masuk ke kamar ayahya, menggeser kaca lemari dan mengambil botol obatnya yang masih baru. Sejenak Risa membaca tulisan-tulisan yang menyelimuti botolnya, mencakup aturan pakai dsb. Risa mengkonsumsi 4 jenis obat saat ini. Ada yang berbentuk kapsul, pil, ada juga yang berbentuk tablet. Risa bertanya-tanya seandainya saja ia tidak meminum obat-obat ini, kira-kira apa yang akan terjadi padanya. Ketergantungan ini membuatnya ngeri.

Risa meraup 4 botol obatnya dalam pelukannya. Ketika hendak melangkah pergi, tanpa sengaja terlihat olehnya sesuatu yang menarik perhatian. Sebuah album foto yang berukuran besar tergeletak di lemari d bawah tempat menyimpan obatnya. Dilihat dari sampulnya,Risa belum pernah melihat album foto itu, simpul Risa. Maka tangannya penuh menenteng obat dan album foto lalu meletakkan semua barang itu di meja di ruang keluarga.

Ia mulai membuka halamannya. Segera saja ia menjadi luar biasa tertarik karena tahu betul sebagian besar foto yang terpampang di sana adalah hasil potretannya. Mula-mula terdapat fotofoto taman lalu bagian dalam rumah dan... foto mereka sekeluarga. Risa jadi tersenyum-senyum sendiri melihatnya. Mereka tampak begitu bahagia. Memang begitulah seharusnya, pikir Risa, kita memang harus selalu tersenyum.

“Hm.. lumayan juga,” gumam Risa, tampak puas dengan foto amatirnya.

Ia melihat tawa Bibi dalam foto yang jarang dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari. Ayahnya tampak santai. Viko juga tampak gembira dipotret, padahal Risa ingat betul betapa enggannya Viko ketika diajak foto bersama. Risa harus membujuknya dengan mengeluarkan segala keahliannya.

Risa memandang fotonya sewaktu berdua dengan Viko. Ada yang sedang berpelukan, ada adegan dimana dia mencekik leher Viko dan Viko berpura-pura teler. Tiba-tiba ia tersadar, saat foto itu diambil ia menganggap mereka sebagai keluarga barunya dengan Viko sebagai kakaknya. Saat itu ia tidak tahu bahwa di kemudian hari akan menyukai Viko. Aku tidak tahu akan begini jadinya, batin Risa.

“ayo non, makan dulu,” panggil bibik agak memaksa karena Risa sudah telat sarapan dari tadi. Bibik sedang menyapu di dekatnya.

“iya bentar,” jawab Risa. “sini deh bik. Ini foto-foto yang barusan. Yang ada bibiknya. Lihat deh.”

Bibik ikut duduk bersamanya lalu berkomentar terpukau.

“lihat non, ini bibik. Lho, bibik kok agak kurus ya di foto?” pekik bibik sambil menunjuk fotonya sendiri, tampak senang dengan ukuran tubuhnya. Risa hanya tertawa.

“itu berarti bibik tambah gemuk sekarang,” kata risa bercanda.

“sudah ah, jadi lupa nyapu,” kata bibik setelah puas melihat-lihat. “non, ayo makan. Sekarang sudah jam berapa. Nanti kan bisa dilanjut lagi.”

Maka Risa yang merasa agak bersalah, langsung menuruti kata-kata bibiknya. Ia makan secepatnya karena ia jadi ingin melihat kembali album foto yang sudah pernah dilihatnya. Mendadak Risa jadi berpikir kenapa ayahnya tidak menunjukkan album ini kepadanya, ia kan sudah menunggu-nunggu sampai lupa sendiri. Kelihatannya baru saja dicetak. Mungkin saking asyiknya, ayahnya lupa memberitahunya.

“kenapa albumnya ada di kamar ayah ya?” tanyanya tak mengerti. “mungkin ayah ingin meihatlihatnya lalu lupa mengembalikannya.”

Jangan-jangan diam-diam ayahnya merasa sedih ketika melihat melihat foto-foto mereka. Kan sudah lama mereka tidak berfoto bersama dengan begitu gembira dan bersemangat.

“kasihan ayah,” gumanya sembari membereskan piring makannya lalu meminum obatnya. “nggak tambah non?” 

“enggak bik. Udah kenyang,” sahut Risa sambil menepuk-nepuk perutnya yang kekenyangan.

Risa mengambil album-album foto lama dari lemari dekat ruang tamu. Walau sudah berkali-kali, ia tidak pernah merasa bosan. Ia malah bereaksi seperti baru melihatnya pertama kali. 

Album-album itu berisi foto-foto ayah dan ibunya sewaktu baru menikah, berulang tahun, sedang hamil, baru melahirkan dsb. Album yang lain berisi foto masa kecil Viko dan Anita dimulai saat mereka masih bayi, belajar berjalan, berulang tahun sampa seusia anak TK. Bahkan Viko jadi tampak lucu difoto. Album yang agak kecil berisi foto-foto Viko dan Anita beranjak dewasa. Setelah itu, mereka sudah jarang foto.

“bagaimana ya rasanya jadi orang tua... Pasti sulit,” kata Risa seraya membalik-balik halamannya, teringat bila umurnya masih panjang, ia juga bisa menjadi orang tua dan membina keluarganya sendiri.

Tidak. Tidak bisa. Jika ia berusia panjang, itu justru merepotkannya. Masalahnya ia sekarang berada di tubuh orang, tetap saja ia merasa bersalah dan tidak nyaman. Risa menutup album terakhir dan menumpuknya dengan rapi diantara album-album yang lain.
Previous
Next Post »
Partner Kiryuu