Can You See Me? 11

CHAPTER 11: PERMEN BINTANG DAN MAWAR


Risa terbangun pagi-pagi sekali hari Sabtu, hari ini sekolahnya libur karena ada rapat guru. Ia menyibak tirai dan membuka jendela kamarnya, membiarkan udara pagi yang segar masuk. Setelah merapikan tempat tidur dan meregangkan badannya, ia turun untuk membantu ibu menyiapkan sarapan. Ternyata adiknya juga sudah bangun, ia duduk di meja makan menikmati susu hangat.

“pagi kak,” sapanya.

“pagi semuanya.”

“kamu ada rencana pergi hari ini Ris?” tanya mama. Tangannya sibuk mengaduk nasi goreng di wajan.

“iya, pengen jalan-jalan. Mumpung ada waktu,” Risa duduk, mengambil segelas air putih. Sementara itu, Toska menggonggong gembira di halaman depan.


“Letty ikut!” teriak adiknya bersemangat.

“Letty kan harus sekolah,” kata papa yang sedang menghabiskan kopinya. Letty geleng-geleng tidak setuju.

“ntar habis pulang sekolah, Letty jalan-jalan sama kakak ya,” ajak Risa memberi solusi.

“he eh,” jawab Letty girang. “ma, tambah susunya.”

“kalo gitu kamu bantu mama dulu ya beres-beres rumah,” usul mama, sekarang sibuk mengisi piring-piring mereka yang kosong. Baunya harum menyengat.

“yah mama,” keluh Risa, “kan harus simpan tenaga buat ntar pergi-pergi.”

“kayak baterai aja,” komentar papa. “memangnya kamu mau pergi sejauh mana Ris? Kalo papa boleh tau?”

“Cuma jalan-jalan di pertokoan aja kok, memang jauh sih dari sini,” jawabnya.

“ati-ati lho Ris,” ujar papa menasehati.

“jangan sampai adikmu kena culik, ntar tambah masalah aja,” tambah mama seraya menuang susu cair ke gelas adiknya.

“beress.”

“aku mau makan kue tart,” seru adiknya tak mau ketinggalan.

“iya, ntar kakak beliin.”

“HORE!!!” teriaknya sambil menendang-nendangkan kakinya ke bawah meja.

***

Mereka puas bermain seharian ini. Letty bukan main lincahnya, ingin ditemai ke sana kemari. Tas kecilnya mengembang penuh barang yang mereka beli. Kadang Risa terpaksa menggendongnya kalau mereka berjalan jauh.

“hup... ya ampuuuun, beratmu nambah,” kata Risa kepada Letty yang baru saja digendongnya selagi Letty mengalungkan lengan di lehernya.

“aku kan pengen cepet gedhe.” “Letty udah mau pulang ya?” tanyanya, adiknya mengangguk. “temani kakak bentar ya ke toko bunga. Letty suka bunga kan?”

“suka baangeeeet! Di sekolah ada bunga sepatu, anggrek bulan, bunga liar, morning glory, macem-macem pokonya.”

“nanti kamu bakal liat bunga yang buanyak, warna-warni, warnanya macem-macem tapi jangan dipetik lho. Gak boleh,” kata Risa memberitahu. “sekalian beli bunga sedap malam kesukaan mama, oke?”

Begitu sampai di sana, Letty langsung minta diturunkan. Rsa sibuk memilih bunga-bunga yang cocok untuk dirangkai dengan bunga sedap malam dalam sebuah vas. Mama pasti suka, katanya dalam hati, tersenyum puas. Adiknya tidak menyia-nyiakan kesempatan dengan berusaha mencium segala wangi bunga di sana tanpa melewatkan satu pun dan menahan diri untuk tidak memetiknya. Terkadang Letty mengajak bicara beberapa pembeli yang sebagian besar adalah wanita. Adiknya memang lucu sehingga semua orang pasti tertarik berbicara dengan adiknya.

Rangkaian bunga untuk mamanya sudah hampir selesai. Risa berjalan menyusuri sederet bunga warna cerah dan berhenti di depan deret bunga kesukaannya. Ia memilih, mengambil beberapa tangkai, membelai kelopaknya dengan perasaan rindu. Dulu hampir setiap hari ia berlangganan mawar ini, membuatnya tenang dan terhibur. Ia dikejutkan oleh teguran tante pemilik toko,

“mbak sudah selesai?”

“oh, sama ini jua. Berapa?” kata Risa sambil memberikan mawar pilihannya. Ia menunduk ketika mengeluarkan dompet untuk membayar sambil memanggil adiknya, “Let, Letty.”

“Risa?” panggil seseorang di belakangnya.

Kelihatannya suara itu sangan dikenalinya. Risa menoleh untuk memastikan dan terkejut setengah mati. Di hadapannya berdiri pria jangkung yang menatapnya dengan serius. Adiknya ada dalam gendongannya, dengan gembira melambai-lambaikan bunga lili dalam genggamannya. Risa tidak mempercayai matanya, ia tidak bisa berkata-kata.

“Risa kan?” ulang pria itu.

***

Suasana pemakaman hening, yang terdengar hanyalah isak tangis di dekatnya. Di dini waktu seakan berhenti. Waktu memang berhenti, batin Viko, bagi orang-orang yang sudah terkubur di sini. Ia memandang kuburan yang baru saja ditimbun kembali. Anita terbaring dalam damai di samping makan ibunya. Anita pasti senang dapat berkumpul kembali dengan ibunya, satusatunya hal yang dinantikannya selama ini. Viko akan sangat merindukan mereka. Dalam hati ia bertanya-tanya apakah Risa juga telah bergabung bersama adik dan ibunya.

Viko mengurung diri dalam kamarnya sepulang dari pemakaman adiknya. Rumah ini terasa sepi sekali tanpa kehadiran adiknya. Ayah sedang menenangkan diri di ruang keluarga ditemani bik Ti yang masih menangis tersedu-sedu. Bik Ti berusaha mengajak ayahnya bicara sekedar menghibur walaupun ayah terlihat lebih bisa mengendalikan diri daripada Bik Ti. Viko merasa telah kehilangan dua orang yang berharga sekaligus yakni Anita dan Risa. Sulit baginya membandingkan siapa yang membuatnya paling merasa kehilangan. Viko duduk terhenyak di lantai, badannya sama sekali tidak bertenaga, semangatnya hilang.

Malam telah tiba, tapi Viko masih belum beranjak sedikitpun dari tempatnya. Dalam keheningan itu ia teringat akan pengakuan Risa, seakan baru terjadi kemarin. Malam itu ia sedang duduk di tempatnya duduk saat ini, memainkan gitar sambil termenung menatap toples kaca penuh bintang buatan Risa. Saat itu ia menerka-nerka perubahan drastis pada adiknya, tatapan Anita yang tidak bisa ia lupakan saat menatapnya seolah memandang orang yang sangat dicintai. Risa pasti menderita dengan keadaan yang dialaminya, walaupun begitu Risa berusaha tetap ceria dan tersenyum kepada setiap orang.

Viko tersenyum sedih. Dulu ia berusaha memahami adiknya yang telah berubah. Ia tidak habis pikir kenapa Anita sampai menjadi kekanak-kanakan dengan membuat permen isi bintang yang berwarna-warni, suka menonton film kartun dsb. Alasannya sederhana, adiknya bukanlah Anita tetapi Risa. Setiap tiga hari sekali, Risa tidak lupa menambahkan bintang ke toplesnya, sampai isinya penuh. Apakah Risa membuatnya untuk mengisi waktu? Atau ada hal lain yang dipikirkannya? Ia tidak pernah menanyakannya langsung.

Ia tidak tahu siapa dan bagaimanakah Risa yang sesungguhnya. yang pasti, ia menyukai Risa.
Risa telah menari perhatiannya. Ia tidak bisa berada dalam tubuh adiknya. Saangnya, saat ia menyadari perasaannya selama ini, tidak banyak waktu yang tersisa untuk mereka. Viko belum siap untuk kehilangan Risa. Risa seolah datang dan pergi begitu saja, meninggalkan dirinya dengan lubang kosong dalam hatinya. Walaupun sesaat, perasaan dalam hatinya begitu nyata dan menyakitkan.

Ia sedih sekali tidak bisa mempertahankan orang yang dicintainya, yang membuat hidupnya bahagia. Berkali-kali terbesit keinginan untuk menyusul Risa namun tersadar bahwa itu pikiran bodoh. Ia tidak boleh manjadi egois sebab bukan hanya dirinya saja yang menderita melainkan ayahnya juga. Kalau ia sudah meninggal bagaimana dengan nasib ayahnya sendiri, justru akan menambah kesedihannya. Hatinya terasa kosong secara tidak ada hal apapun yang bisa mengembalikan dirinya seperti semula.

Viko menguatkan diri untuk bangkit. Ia tidak bisa terus menerus seperti ini, pikirnya. Tindakannya yang diam membisu justru membuatnya merasa lebih parah. Ia harus melakukan sesuatu. Ia keluar dari kamar, hendak bergabung dengan ayahnya. Bik Ti keluar dari dapur dan membujuk ia dan ayahnya untuk makan. Ayahnya bangkit dengan layu berjalan menuju meja makan, mengajak bik Ti untuk makan bersamanya. Viko masih tidak ada selera makan, ia membiarkan dirinya duduk nyaman di sofa. Tanpa sengaja ia menatap toples kaca di depannya. Isinya berwarna-warni ceria, sama seperti...Risa.

Viko meraih toples itu, membukanya dan meraih salah satu permen yang gemuk-gemuk itu. Ia sendiri tidak tahu apa pastinya yang sedang dilakukannya. Ia memandangi permen itu beberapa lama, dan memutar-mutarnya, pikirannya kosong. Sekejap ia melihat sesuatu yang aneh berada terselip dalam permen. Sama sekali tidak menyerupai bintang. Dengan tegang dan ingin tahu ia membuka pita yang menghias kedua sisinya, bintang-bintangnya berhamburan keluar. Diantaranya terdapat guntingan kertas foto ukuran 1x1 cm bertuliskan 1 huruf. Huruf K besar tercetak tebal di lapisan mengkilapnya. Sesaat Viko tidak mengerti apa artinya huruf K itu. Lalu saat terpikir bahwa tidak mungkin potongan kertas itu hanya kebetulan saja berada di sana, ia cepat-cepat memeriksa permen yang lain. Sebuah permen lain yang diambilnya, setelah diperhatikan memang ada sesuatu terselip di dalamnya. Viko membalik toples dengan kedua tangannya, menuang seluruh permen ke atas meja.

Ia benar-benar tidak sabar sekarang. Dengan asal, ia membuka seluruh pita yang mengkait permen, mencari-cari potongan huruf yang lain dan mengumpulkannya. Setelah memastikan tidak ada satupun permen atau huruf yang terlupakan, ia segera merangkainya, mengelompokkannya, menyisipkan, memindahkan sampa akhirnya membentuk sebuah kalimat.

Lima menit penuh ketegangan telah berlalu, bungkus plastik, pita dan bintang-bintang bertebaran memenuhi meja. Viko tertegun menatap kalimat itu, bunyinya:

AKU SAYANG AYAH DAN VIKO

Sebuah kalimat singkat namun sangat berarti bagi Viko. Tanpa terasa air matanya menitik, jauh di antara rangkaian kalimat itu. Ia tidak kuasa menahan haru. Rupanya Risa membuat bintangbintang ini sebagai lambang kasihnya kepada mereka. Setiap butir bintangnya seakan menekankan perasaan sayang Risa pada keluarganya. Risa sudah menganggap mereka sebagai keluarga sejak awal. Tak heran Risa setiap malam kelihatan asyik membuatnya. Hal yang dulu dirasa kekanak-kanakan bagi Viko sekarang berubah total. Memang kekanak-kanakan tapi perasaan dan impian di baliknya membuatnya mengakui bahwa Risa begitu dewasa.

Ayahnya sudah kembali dari meja makan hendak mengajaknya berbicara.

“Vik, nggak makan du...” kata-kata ayahnya terputus begitu melihat Viko, otomatis melihat meja yang berantakan.

“ap? Apa yang? Kenapa...?” kata-katanya terputus lagi begitu melihat kalimat dalam kertas mengkilap itu.

Ayah duduk di sebelahnya, menatap kalimat itu dan berusaha tidak menangis. Ayahnya kemudian mengambil bintang-bintangan yang berserakan di meja dan memasukkannya ke dalam toples tanpa mengemasnya terlebih dahulu dengan plastik dan pita.

“dia memang anak baik,” kata ayahnya. “ayah bangga sekali punya putri seperti dia.”

“yah, sebenarnya...” kata Viko, tangannya mengusap matanya, hendak memberitahu ayahnya tetapi mendadak mengurungkan niatnya.

“apa?” tanya ayahnya seraya menutup toples, meletakkannya di tengah-tengah meja.

“tidak, bukan apa-apa,” lanjutnya. Melihat ketidakpercayaan di wajah ayahnya maka ia melanjutkan, “sebenarnya Anita memang anak yang baik.”

Viko tidak yakin ayahnya mempercayai ucapannya tapi akhirnya ayahnya mengangguk setuju dan memeluknya sebentar.

“mulai saat ini tinggal kita berdua ya,” kata ayahnya sedih, menepuk-nepuk punggungnya.

“tidak apa-apa yah, semuanya akan baik-baik saja, seperti kalimat ini. Anita menyayangi kita selamanya jadi kita juga harus hidup dengan baik,” katanya, tersenyum sedih.

Viko berpamitan hendak tidur. Kamarnya gelap, ia menyalakan lampu dan melihat sebuah kalung berkilau d mejanya. Itu batu warna yang diberikannya kepada Risa sewaktu sakitnya bertambah buruk. Sebelum meninggal, Risa menitipkan kalung ini pada suster agar diberikan pada Viko. Viko memandangnya sekilas sebelum menghenyakkan diri di tempat tidurnya.

Tidurnya tidak nyenyak malam itu. Ia terbangun setiap beberapa jam, memandangnya dalam kegelapan dan mendengar kesunyian disekitarnya. Jantungnya berdetak kencang. Setiap kali ia membuka mata, bayangan Risa selalu muncul dalam benaknya. Ia bersedia melakukan apapun asal bisa mengembalikan Risa ke sisinya. Harapan terakhirnya pudar, Risa tidak mungkin kembali. Risa sudah pergi sama seperti Anita. Baru pertama kali dalam hidupnya ia merasa begini terpukul.

***

Viko bangun kesiangan tapi ia sedang libur panjang. Ia memandang wajahnya di cermin yang tampak tidak bersemangat kemudian melangkahkan kakinya keluar kamar. Suasana rumah itu memang seakan berubah total. Viko jadi tidak berminat di rumah ini. Di dapur, bik Ti sedang mencuci piring. Bunyi air yang mengucur dari keran yang terbuka dan denting piring yang tak beraturan merupakan satu-satunya keramaian yang mengisi keheningan dalam rumah. Kemudian ia teringat akan Risa yang suka sekali memasak di sana.

Viko tidak melihat ayahnya lalu memutuskan untuk makan sendirian. Kemarin Viko belum makan seharian, perutnya terasa melilit namun tetap saja terasa tidak seberapa dbanding hatinya yang melilit kesakitan. Sepi sekali pikirnya, biasanya Viko selalu merebut makanan Risa atau menggodanya, membuatnya sebal dan diikuti keributan.

Viko menyuap makanannya banyak-banyak membuat perutnya penuh. Lalu bertanya pada bik Ti kemana ayahnya pergi.

“ayah di mana bik?”

“kalo nggak salah bibik tadi melihat bapak masuk ke kamarnya non Ta...,” namun kata-katanya terputus. Bibik tidak sanggup menyebut nama Tata saking sedihnya.

“hm yaudah bik.”

Memang benar, saat Viko membuka pintu kamar Tata, ayahnya sedang duduk memandang foto putrinya, masih ada bekas air mata dipipinya. Ayahnya tampak terkejut dengan kedatangan Viko lalu meletakkan pigura foto Tata ke meja semula.

“oh kamu sudah bangun Vik. Ayah baru saja ingin memberitahumu sesuatu.”

“memberitahu apa yah?”

“sebenarnya ayah ingin pindah dari sini. Ayah sudah menemukan tempat tinggal yang cocok untuk kita. Teman ayah pindah kerja keluar kota dan menjual rumahnya. Dulu sewaktu ayah berkunjung kerumahnya, suasananya menyenangkan. Bagaimana menurutmu?”

Viko bingung. Ia tidak yakin apakah benar-benar ingin meninggalkan rumah ini atau tidak. Rumah ini sudah menemaninya dari kecil hingga ia dewasa seperti sekarang. Di dalamnya juga banyak menyimpak kenangan ibunya, Anita dan juga,..Risa. setelah lama berpikir, Viko mengangguk setuju.

“baiklah Yah. Kapan kita rencana pindah?”

“mumpung kita lagi libur jadi sebaiknya kita mulai minggu depan. Ya sudah, ayah lega kamu setuju. Seekarang tinggal menelpon teman ayahnya,” kata ayah sambil meninggalkan kamar itu.

Viko terdiam lama, memandang sekeliling lalu menatap foto adiknya yang tadi dipegang ayahnya.

“Anita semoga kamu baik-baik saja bersama ibu,” katanya pelan kepada foto itu. “begitu juga dengan Risa,” tambahnya.

Di samping pigura foto itu ada vas bunga dengan awar putih yang sudah layu di dalamnya. Sebagian daunnya rontok, sebagian lagi menguning dan menyusut pada ujung tangkainya. Tibatiba Viko menjadi sangat tertarik. Ia tahu betul setiap kali masuk ke kamar ini sudah tersedia mawar putih yang segar. Risalah yang menyiapkannya bukannya Anita. Anita tidak pernah menghias kamarnya dengan bunga.

“dimana Risa membeli mawar ini ?” pikirnya serius. 

“kelihatannya dia jarang bepergian. Tapi kenapa setiap hari bisa ada bunga yang masih segar.” Ia berjalan agak tergesa-gesa saat menemui bik Ti yang rupanya sedang mencuci baju.

“bik. Darimana Tata mendapat bunga mawar putih di kamarnya?”

“oh... non Tata suka sekali bunga itu jadi dia menyuruh pegawai toko mengantarnya ke sini setiap hari. Sudah langganan. Bibik yang nerima setiap kali ada orang yang mengantar dan langsung meletakkannya di kamar on Tata.” “bibik tahu dari toko mana?” desak Viko.

“waduh, bibik nggak tahu den,” jawab bibik, Viko langsung lesu mendengarnya. “tapi kalo gak salah ada kartu namanya di buku telepon. Non Tata selalu telpon dulu untuk minta dianter.” “bener bik? Yaudah makasih, biar kucari,” sahut Viko penuh semangat, membuat bibik terheranheran.

Viko membuka buku telpon yang terbagi-bagi dalam abjad A sampai Z. Di dalamnya banyak terselip kartu nama yang sebagian besar adalah kartu nama kenalan ayah. Ia melihat dengan rinci setiap kartu nama sampai akhirnya menemukan kartu nama bertuliskan FLORIMA(toko bunga), lengkap dengan alamat dan nomor telponnya.

“lho?! Ternyata tempatnya gak jauh dari kampusku,” katanya terperanjat.

***

Setiap hari minggu Viko mengunjungi toko bunga tempat Risa berlangganan. Ia tidak tahu apa alasannya pergi ke sana. Hanya saja, apapun yang bersangkutan dengan Risa, membuatnya tertarik. Ia tidak hanya pergi ke toko bunga Florima saja tetapi juga ke toko kaset, supermarket yang pernah didatanginya bersama Risa dan ayah dan beberapa tempat lainnya.

Kondisinya sekarang pasti lebih parah dari orang yang patah hati. Walaupun ia merasa sedih dengan kenangan masa lalunya, ia ingin mengabadikan kenangan tersebut. Hari menjelang sore ketika ia hendak tiba di toko Florima. Jalan raya penuh dengan kendaraan bising, bunyi kalkson terdengar dimana-mana.

Viko mendorong pintu masuk too dan sebelum ia melangkahkan kaki ke dalam, ia merasa dadanya ditabrak seseorang.

“oh, maaf,” kata perempuan yang menabraknya tanpa memandangnya. Viko hanya sekilas melihatnya, perempuan itu sedang membawa sesuatu ditangannya. Kelihatannya sedang tergesagesa karena saat Viko ingin meminta maaf juga, perempuan yang beberapa tahun lebih muda darinya itu sudah berjalan pergi.

Viko melangkah masuk dan merasa menginjak sesuatu yang keras, ia menunduk dan melihat sepatunya menginjak tangkai bunga. Ia memungut bunga itu, bunga mawar putih dan tersadar pasti bunga ini milik anak perempuan yang barusan menabraknya. Viko buru-buru bangkit dan keluar dari pintu.

“hei...” panggil Viko, tangan kanannya terjulur berusaha mencegah perempuan tadi. Namun perempuan itu tidak mendengar dan sudah dua meter di depannya.

Viko bisa mengejarnya tapi ia mendadak diselimuti perasaan aneh yang membuatnya bimbang. Seiring dengan langkah perempuan itu yang semakin menjauh, ia merasa perlahan ditinggalkan orang yang dikenalnya. Viko memandang bunga mawar putih di tangan kirinya dan sosok perempuan itu bergantian. Ia memandang belakang punggung perempuan itu dengan siluet langit semburat merah keemasan secara seksama sampai akhirnya lenyap diantara kerumunan banyak orang.

“ada yang bisa saya bantu?” kata tante pemilik toko dari kejauhan, memecah lamunanya.

Agak bingung dengan setangkai mawar putih masih dalam genggamannya, ia pun menjawab, “seperti biasa, Cuma lihat-lihat. Tidak apa-apa kan?”

“tentu saja tidak apa-apa. Aku senang para pengunjung isa menikmati koleksi bunga di tokoku. Toh suatu saat mereka pasti membeli bunga-bunga ini,” kata tante itu ramah.

Saat itu toko sudah hampir tutup sehingga Viko merupakan satu-satunya pengunjung di tempat itu. Tante itu dengan senang hati menemaninya melihat-lihat sambil menerangkan bagaimana cara mengawetkan bunga, dari negara mana asalnya, jenis bunga yang sulit didapat saat ini dan lain sebagainya.

“....nah supaya bunga bisa awet ketika dipajang, pakai alkohol. Coba deh.”

Viko mengangguk paham tapi tampak tidak antusias.

“apakah anda tidak menyukai bunga?”

“suka tapi tidak punya kebiasaan memajangnya dirumah.”

“bunga biasanya dipakai sebagai hadiah, acara ulang tahun, pernikahan dll. Tidak ada seseorang yang hendak diberi misalnya?”

“tidak ada,” kata Viko menggelengkan kepala. “baiklah, kali ini aku beli bunga antorium ini.”

Pemilik toko merasa gembira sekali karena telah berhasil membujuk Viko. Ia bergerak ke meja kasir sementara Viko mengeluarkan dompetnya.

“kami bisa mengantar pesanan bunga, ini akan memudahkan kalau pelanggan kami sedang berhalangan datang kemari. Jika anda memerlukan bantuan kami telepon saja, ini kartu nama toko ini,” kata tante itu sambil mengulurkan kartu nama berwarna kuning cerah.

“tidak usah. Terima kasih,” tolak Viko sopan.

“sudah hafal nomor telponnya? Sama seperti perempuan yang membeli mawar putih tadi?”

“apa?” tanya Viko tidak mengerti, dahinya mengernyit.

“kalian berdua baru pertama kali membeli bunga di sini tapi kelihatannya sudah mempunyai kartu nama toko ini. Apalagi perempuan tadi, dia BAHKAN baru pertama kali datang ke sini, aku belum pernah melihatnya sebelumnya.”

“benarkah?”

“saya tidak tersinggung sih kalau ada pembeli yang menolak berlangganan, namun bukan berarti mereka harus menolak kartu nama pemberian saya kan,” kata tante itu agak kecewa.

“adik saya dulu langganan toko ini jadi saya punya kartu namanya,” kata Viko menjelaskan kesalahpahaman.

“oh, begitu rupanya,” kata tante itu tersipu-sipu malu, “rupanya saya terlalu berprasangka.”

“tidak apa-apa.”

“kapan-kapan datang lagi ya.”

“pasti.”

Viko berjalan menuju tempat parkir dimana ia memarkir motornya tak jauh dari toko bunga itu. Sesampanya di rumah, ia menyapa ayahnya dan bersantai di kamarnya. Bunga antoriumnya tergeletak di meja, ia membelinya hanya supaya pemilik tokotidak mengajaknya bicara terus. Sekarang ia sedang asyik mengamati mawar putih yang tanpa sengaja diperolahnya dari perempuan mungil tadi. Mau tak mau teringat perasaan aneh yang tadi melandanya. Pertemuan dengan perempuan tadi entah kenapa meninggalkan kesan yang mendalam seakan melihat Risa.

“tidak mungkin,” gumamnya. “ini hanya pengaruh mawar ini.”

Tanpa sadar Viko sering mengabaikan suara hatinya yang berusaha menuntunnya kepada orang yang tepat. Padahal hati dan pikirannya satu tubuh tapi apa yang dirasakan hatinya tidak bisa dijelaskan oleh pikirannya. Semua ini diluar akal sehat seakan hatinya berpikir tanpa bantuannya. Walaupun begitu, hatinya tidak pernah salah. Sayang Viko tidak menyadarinya.

Viko meletakkan mawar putih itu bersama bunga antorium yang dbelinya lalu beranjak hendak makan malam. Peristiwa tadi langsung terlupakan dari benaknya.

***

Viko baru saja mengisi Kartu Rencana Studi untuk semester depan di kampusnya, berbincangbincang dengan teman yang ditemuinya lalu mengendarai motornya dalam perjalanan pulang. Di tengah jalan ia melewati toko bunga Florima dan mendadak ingin menepi, memarkir motornya di tempat biasa. Ia sebenarnya kurang berminat tapi entah mengapa sepertinya kata hatinya menyuruhnya untuk mampir.

Viko mendorong pintu dan segera saja melihat banyak pengunjung di dalamnya. Pemilik toko pasti senang, pikirnya. Di dekatnya ada 2 orang berseragam SMP sedang bergosip seru. Dia menoleh anak kecil sedang berbicara penuh semangat dengan ibunya. anak kecil melihat dirinya dan menghampiri ke arahnya. 

“kakak mau beli apa?” tanyanya ramah.

“Cuma lihat-lihat. Adik kecil nggak boleh ngobrol sama sembarangan orang asing,” kata Viko memberi nasehat sambil berjongkok supaya bisa sejajar dengan tinggi anak ini. “sapa tau kakak ini orang jahat.”

“Letty bukan anak kecil! Lagipula kakak gak kelihatan seperti orang jahat,” jawab anak yang bernama Letty itu polos.

“lho kamu ditinggal ibumu tuh,” kata Viko sambil memandang wanita dengan baju terusan yang sedang menarik pintu membuka.

“dia bukan mama Letty. Letty dateng sama kakak. Tuh lagi sibuk di sana,” kata Letty seraya menunjuk kakak perempuannya yang rupanya sedang sibuk membantu merangkai bunga di vas. Kelihatannya perempuan itu tidak asing.

“sini kak,” ajak Letty, jari-jarinya yang mungil menarik-narik jaketnya. Viko berdiri dan mengikutinya. “Letty mau bunga yang di atas itu. Bisa gendong Letty gak? Dari sini nggak kelihatan.”

“boleh. Hup,” kata Viko sambil menggendong Letty. Letty langsung berpegangan pada lehernya.

“Letty suka bunga yang ini tapi kak Risa mbolehin gak ya?” tanya Letty bingung.

“kak Risa??? Kakakmu namanya Risa?”

“iya. Nama lengkapnya Clarisa. K,L eh bukan bukan. C, L, A, R, I, S, A,” katanya lambatlambat seperti sedang mengeja.

Wah! Kebetulan sekali, pikir Viko. Nama Risa memang umum. Walaupun begitu, Viko jadi tampak tertarik.

“kamu sering jalan-jalan sama kakakmu?”

“dulu sih sering tapi kak Risa baru dirawat di Rumah Sakit lamaaa banget. Jadinya Letty bau bisa keluar bareng kakak sekarang. Letty baru pertama kali diajak ke sin lho, tapi Letty sneng banget,” jawab Letty panjang lebar.

Letty tidak menyadari bahwa Viko berdiri tegang seakan tersambar petir. Viko menoleh ke arah perempuan yang sekarang membungkus vas berisi rangkaian bunganya dengan plastik. Ia sadar perempuan itulah yang dulu pernah menabraknya. Mungkinkah? Mungkinkah? Mungkinkah dia Risa yang selama ini dkenalnya? Risa masih hidup? Mungkinkah itu?

Viko tidak berani terlalu banyak berharap. Risa sudah meninggal, mungkin saja ini Risa yang lain, mawar itu hanya kebetulan saja. Viko mengamati perempuan itu. Wajahnya manis, badannya mungil, rambutnya agak menggelombang, gerakannya lemah lembut.

“kak! Ambilin satu dong. Boleh kan?” pinta Letty, rupanya sudah sangat menginginkan bunga lili itu. Viko mengambilkannya.

“kakakmu habis sakit apa?”

“kakak gak sakit Cuma habis kecelakaan. Gegar otak. Letty serem ngeliat kepala kakak waktu itu. Dibalut-balut kayak mumi. Hiii...” jawab Letty bergidik sambil mengelus kelopak bunga ditangannya.

“berapa lama di rumah sakit?”

“dua bulan lebih gak sadarkan diri padahal Letty pengen nnjukin nilai rapor ke kakak. Letty pikir kakak sudah mati,” jawab Letty yang kelihatan ngeri mengingatnya, menatap Viko dengan mata bulatnya.

“gak sadarkan diri??? Maksudnya tidur terus?” kata Viko terperanjat, ia tidak bisa menyembunyikan ketegangannya.

“iya, kayak orang tidur tapi nggak bangun-bangun,” jelas Letty, rupanya senang bisa menjawab semua pertanyaan Viko. 

“untung kak Risa bisa sembuh. Letty seneng banget.”

“untung ya,” kata Viko menanggapi. “kakakmu suka bunga mawar ya?”

“he eh.a khir-akhir ini kak Risa selalu punya bunga itu di kamarnya. Letty kan setiap hari ke kamarnya, ngambil pensil warna atau spidol punya kakak. He he he rahasia ya,” kata Letty jahil, tersenyum nakal kepadanya.

Viko tidak tahu lagi harus berbuat apa. Semua perkataan Letty sangat cocok. Segalanya menjadi lebih jelas. Risa yang dikenalnya dulu sama dengan Risa yang ada di seberang ruangan. Hanya satu masalahnya. Apakah Risa mengingat peristiwa yang dialaminya dengan keluarganya? Atau sama sekali lupa seperti sewaktu ia hanya mengingat namanya saja? Apakah Risa sudah tidak mengenalnya lagi? Bagaimana caranya agar dia bisa mendekati Risa sekarang ia harus tahu. Stau-satunya hal yang bisa dilakukan sekarang adalah mencoba menyapanya.

Maka Viko bergerak ke tempat Risa dengan masih menggendong Letty. Saat sudah dekat, ia bisa mendengar Risa memanggil adiknya.

“Let, Letty!”

“Risa?” tanya Viko takut-takut. Perempuan itu menoleh kaget tapi begitu melihatnya tampaklebih kaget lagi sampai-sampai dompetnya terjatuh.

“Risa kan?” ulangnya. Perempuan itu memandangnya dengan nada terbelalak, tangan kanannya menekap mulutnya sedangkan satu tangannya bersandar pada meja kasir.

Viko mengira wanita itu kaget karena mengira ia tengah menyandera adiknya atau apa, lalu cepat-cepat berpikir mencari alasan. Sebelum ia tahu alasan apa yang sebaiknya dikatakannya, perempuan itu terlebih dahulu berkata.

“vik...Viko?”

Viko kontan merasa lega sekaligus tak percaya apa yang baru di dengarnya. Diakah Risa? Dia di sini? Perempuan ini?

“kamu benar Risa? Kamu bisa mengingatku?” tanya Viko gembira.

“iya aku ingat. Tap tapi... bagaimana kamu bisa tahu ini aku?” tanya Risa gugup, masih tampak kaget.

“berkat mawar putih dan....Letty,” katanya segera.

Sementara itu Letty saking asyiknya berman dengan bunga Lilinya sampai tidak menyadari kejadian menegangkan yang baru saja berlangsung.

***

“Viko? Ini bukan mimpi kan,” sahut Risa tak percaya seraya mengulurkan tangan untuk menyentuh wajah Viko. Viko menurunkan Letty lalu memeluknya erat-erat.

“kamu benar Risa? Aku tak percaya. Ini benar kau?” kata Viko ingin diyakinkan. Sekarang ia begitu gembira. Ia mengira telah kehilangan segalanya, namun nyatanya tuhan masih menyisakan kebahagiaan untuknya.

“aku senang sekali bisa bertemu kembali denganmu,” kata Risa penuh kelegaan. Viko masih terlihat sama seperti terakhir kali Risa melihatnya.

“aku juga,” balas Viko.

Mereka terdiam beberapa saat.

“aku mengira kau sudah meninggal. Oh maaf aku lupa, kau sekarang sangat... eh berbeda,” kata Viko buru-buru melepas pelukannya, berusaha menahan diri.

“tidak apa-apa. Aku tahu kau pasti akan kaget melihatku,” kata Risa paham. Mendadak Risa jadi canggng.

“kau sudah sembuh sekarang?” tanya Viko khawatir.

“sudah. Aku pergi ke rumahmu tapi ada yang mengatakan bahwa kalian pindah. Bagaimana kabar ayah? Lalu apakah Anita meninggal? Berita itu benar?” tanya Risa penasaran. Ia agak bingung.

“ya, dia tidak pernah kembali,” kata Viko muram. “ayah memintaku untuk pindah rumah setelah itu. Dia baik-baik saja walau agak sedih.”

“aku turut berduka,” ucap Risa. Dia belum sempat mengenal Anita namun ia berterima kasih karena bisa mengenal Viko melalui Anita.

“sudahlah, semua sudah berlalu. Tapi apa yang terjadi padamu?” tanya Viko yang kelihatan tidak sabar.

“oh aku tak sadarkan diri berbulan-bulan di RS. Ketika aku bangun, aku bisa mengingat semuanya dengan jelas walau tidak masuk akal menurutku,” kata Risa menjelaskan.

“ehm,.. permisi. Maaf, antriannya menunggu,” kata tante pemilik toko pelan. Mereka tidak sadar telah menjadi pusat perhatian di sana.
Previous
Next Post »
Partner Kiryuu