Can You See Me? 3

CHAPTER 3: KENYATAAN YANG MENANTI



Risa merasa dirinya telah lama tertidur, ia mendengar suara desau angin yang kenang di kedua telinganya. Dirinya bagaikan melayang di tengah pusaran angin di sekitarnya. Rasanya begitu tenang dan nyaman. Dia tidak bisa berpikir atau mengingat apa2 kecuali bertanya pada dirinya sendiri apakah ia sudah mati. Herannya ia sama sekali tidak takut karena perasaan yang dialaminya sekarang begitu tenang.

Ia melihat segalanya berwarna putih dan ada bayangan seseorang di hadapannya. Risa membatin, agak ngeri, ‘siapa? Kamu siapa? Aku mengenalmu?’ Namun sosok itu diam saja. 

Risa tidak bisa melihatnya dengan jelas, hanya berupa bayangan gelap seseorang yang diam tak bergerak. Tiba2 saja sosok itu lenyap. Segalanya serba putih sekarang. Ia tidak tau harus melakukan apa. Sampai kapan dia harus diam dalam kesunyian seperti ini. Maka Risa berusaha bangun tapi gagal. Ia mencoba lagi dan lagi.

Risa membiasakan dirinya dengan apa yang dilihatnya, memastikan bahwa yang dilihatnya ini nyata. Sekujur tubuhnya terasa berat dan lemah, ia merintih dan mendengar suara berat seseorang tak jauh darinya.


“kau sudah sadar? Baik2 saja? Apa yang kau rasakan?”

Risa menolehkan kepalanya perlahan kearah suara itu, ia tidak menyadari kehadirannya sebelumnya. Pria itu menghampirinya tergesa-gesa lalu menyeka keringat dingin di wajahnya, ekspresi wajahnya cemas. Risa membiasakan diri sebentar, setengah bermimpi. Ia belum mati, pikirnya.

“Minumlah sedikit,” kata suara tadi membujuk.

Tubuh Risa serasa agak terangkat dan bibirnya menyentuh permukaan gelas yang dingin. Risa meneguk air yang diberikan padanya, merasa lega, perlahan ia sadar sepenuhnya. Seorang pria muda bertubuh jangkung meletakkan segelas air ke meja disebelahnya, rambutnya agak acak2an lalu seorang pria setengah baya berkacamata persegi muncul mendatangi kearahnya.

“dia sudah sadar Yah,” kata pria yang pertama dilihat Risa.

“oh syukurlah,” sahut pria setengah baya kepada pria muda itu lalu memeluk Risa. “kau baik2 saja anakku? Ayah khawatir sekali, sudah dua hari kau tidak sadarkan diri. Katakan saja apa yang kau butuhkan, akan kuambikan.”

“aku dimana? Apa yang terjadi?” tanya Risa pelan dan sadar bahwa suaranya terdengar lain dari biasanya.

“rumah sakit. Kau tiba2 pingsan saat tiba dirumah dengan basah kuyup. Ayah menyuruh kakak untuk menjemputmu tapi kau sudah pulang dari sekolah lebih dulu. Pastinya kau tak menyangka akan hujan deras. Dasar bandel! Kemarin baru saja cuci darah. Nah istirahatlah dulu, kau pasti lelah,” katanya ramah sambil tersenyum.

Risa mengangguk paham tapi ia tidak ingat apa2 dan bagaimana dia bisa pingsan. Semuanya terasa asing, kedua pria di dekatnya sama sekali tidak dikenalnya. Dia memandang mereka bergantian dengan pandangan menilai. Bagaimana mungkin ia tidak mengenali ayahnya sendiri? Ia mendengarkan percakapan dalam bisikan kedua pria itu selagi ia berpura-pura tidur namun sedang berfikir keras mengingat sesuatu yang dapat membantunya. Belum pernah perasaannya sekalut itu.

“viko, ayah tadi bertemu dokter Hasan. Ia mungkin bisa sadar kali ini namun tidak ada lain kali. Kalau saja ada yang bisa kulakukan, ia putriku satu2nya, mirip sekali dengan ibunya. Ayah bingung...” suaranya menghilang dalam isak tertahan.

“sudahlah Yah. Kita tahu hari ini bisa terjadi kapan saja. Yang penting kita sudah melakukan yang terbaik dan membahagiakannya. Tuhan masih memberi kita satu kesempatan. Aku paham, Anita anak dan adik yang baik. Kita tidak ingin kehilangan dia.”

Hah?! Tunggu! Tunggu dulu! Anita? Aku Anita? Aku bukan Anita. Aku.. aku.. namaku.. ia berkonsentrasi susah payah, dahinya mengernyit tegang, menahan nafas. Aku R...R..Rr..Rr...

“Risa!” Risa terkejut tanpa sadar menyebut namanya sendiri, matanya terbelalak, nafasnya tersengal-sengal.

Kedua pria tersebut menoleh, mengerumuni tempat tidur tempatnya terbaring.

“ada apa nak? Kau kenapa? Aku akan memanggil dokter untuk memastikan keadaanmu. Viko, kau temani dia ya?”kata sang ayah. Viko mengangguk, perlahan duduk di kursi disamping Risa.

Risa berusaha mengingat lebih banyak tapi ia hanya bisa mengingat namanya saja. Dia yakin bahwa ia bukan Anita. 

Tapi kenyataan akan dirinya yang tidak mengingat segala hal tentang Risa semakin membingungkannya. Dia merasa terperangkap alam tubuh orang lain dan tidak bisa mengetahui dirinya yang sebenarnya. Mereka akan menyangka aku gila kalau aku menyangkal bukan Anita, pikirnya. Bagaimana ini. Apa yang terjadi. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi. Dimana Anita yang asli. Apa aku sudah gila atau hilang ingatan.

“kenapa Tata?” panggilnya, “mau cepat pulang?”

“kak, ada cermin gak?” tanya Risa sangat panik.

“bentar, kalo gak salah ada dilaci,” kata Viko sambil menggeledah laci susun tiga disbelahnya.

“ini”

Risa mengambilnya, mengangkatnya sampai sejajar dengan wajahnya dan terpekik kaget. Wajah yang balas memandangnya dari cermin sangat asing. Tangannya mulai gemetar. Ia meraba wajahnya dengan tangan kirinya. 

Bagaimana ini. Kenapa dia sama sekali tidak mengenali wajahnya. Bukan . ini bukan diriku, pirkirnya. Memang, dia tidak ingat apa2. Tapi ia punya perasaan akan bayangan dirinya yang samar2 yang jelas berbeda dengan perempuan dalam cermin ini.

“nggak jelek2 amat kok,” hibur kakaknya begitu melihat ekspresi wajahnya.

Tanpa bisa berpikir lebih jauh, kepalanya pening. Risa mendongak memandang kakaknya atau yang mengaku sebagai kakaknya. Ia merengkuh tangan kakaknya, menggenggamna erat2 seakan mengharap dukungan. Kata2 yang ia tanyakan berikutnya sama sekali lain dari apa yang dipikirkannya.

“Viko, ibu.. dimana?” tanya Risa seraya mengedarkan pandang keseluruh ruangan tanpa menyadari ekspresi terkejut kakaknya. Setidaknya dia bisa berkonsultasi dengan sesama perempuan, dia akan lebih dimengerti, harapnya.

“apa?” tanya Viko bingung. “kau pasti bermimpi bertemu dengannya tadi. Kau selalu berharap bisa bertemu dengannya.

Aku tidak mengerti kenapa kau bisa mewarisi penyakit leukimia ibu.”

Risa melongo memandang Viko. Dirinya semakin bertambah bingung.

“oya, ini pertama kalinya memanggil namaku, Ta. Wah wah.. gak sopan nih anak,” lanjutnya kemudian buru2 menambahkan , “bercanda lho! Pengen lebih akrab nih ceritanya..”

Apa? Leukimia? Jadi ibunya sudah meninggal? Terlebih lagi dia sendiri akan meninggal?
Jawaban ini lebih mengejutkan dari semua yang ia alami sampa tidak bisa berkata-kata atau melakukan hal lain. Siapa dirinya tidak lagi penting sekarang, mengingat ia akan meninggal. Apa maksud semua ini. Risa sibuk berpikir sehingga tidak benar2 memperhatikan ucapan Viko.

Untung saja perhatian kakaknya teralih dengan kedatangan dokter keluarganya menunggu diluar sementara Risa diperiksa dan diberi suntikan pengurang rasa sakit. Risa memanfaatkan waktu ini untuk bertanya sejelas-jelasnya kepada dokter.

“bagaimana keadaan saya dok?”

“kau beruntung bisa selamat kali ini. Ini keajaiban. Aku sama sekali tidak menyangka. Tuhan rupanya memberimu kesempatan,” katanya terus terang, tampak takjub.

“maksud dokter?”

“kadang prediksi dokter bisa saja salah. Semua tergantung ‘yang diatas’. Kamu tidak ingn dirawat untuk jangka panjang?”

“dirawat? Tapi saya merasa baik2 saja.”

“memang, kelihatannya kondisi tubuhmu membaik dengan cepat. Tapi cepat atau lambat kau harus dirawat disini,”katanya memberi pendapat selagi memeriksa detak jantung Risa. “ayahmu telah berusaha keras mengobatimu sejak hampir sepuluh tahun yang lalu begitu mengetahui penyakitmu. Dan kamu berhasil bertahan hingga sekarang. Dia benar2 menyayangimu.”

Risa tidak tahu ia harus gembira atau bagaimana mendengarnya, jadi ia memaksakan diri tersenyum. Sepuluh tahun.. sepuluh tahun.. Risa tidak menyangka ada orang yang mengidap leukimia sampa sepuluh tahun. Bukankah kebanyakan penderitanya berumur pendek?

“lalu.. sampai kapan saya bisa bertahan dok?” kata Risa berbesar hati, “katakan sejujurnya, aku tidak keberatan, toh aku mengidap penyakit ini sudah lama.”

“yah.. asal minum obat tepat waktu, rajin check up, cuci darah, istirahat cukup, kamu pasti bisa bertahan,” jelas dokter.

“sampai berapa lama?” desak Risa, gelisah membayangkan dirinya harus menjalani serangkaian petunjuk dokter.

“baiklah, aku tidak bisa berbohong. Kita sudah lama mengenal. Anita, jujur saja, bisa satu bulan, dua bulan, tiga bulan. Tidak ada yang tau pasti, tergantung daya tahan tubuhmu,” jawab dokter dengan enggan.

“APA?” kata Risa otomatis, nada suaranya jelas2 terkejut. Dia sama sekali tidak menyangka hidupnya bakal sesingkat itu. Wajah Risa murung. Hanya beberapa bulan? Cepat sekali...

“dengar Anita, kamu tidak boleh bepergian tanpa ditemani seorang keluarga atau teman,” saran dokter bertampang gemuk itu selagi suster sedang memeriksa tensi darahnya. “kamu tidak tau betapa paniknya ayah dan kakakmu sewaktu mereka membawamu kesini.”

“kapan saya boleh pulang?” tanyanya sopan.

“sebenarnya kamu tidak boleh pulang. Tapi ayahmu berkeras ingin membawamu pulang,” nada suara dokter itu sangat tidak setuju. “kamu yakin tidak ingin dirawat disini?”

“tidak,” jawab Risa tegas. Ia ngeri bisa membayangkan dirinya terkurung selama sisa hidupnya di RS seperti narapidana. “jadi kapan saya boleh pulang dok?”

“setidaknya tunggulah sampai besok lusa,” katanya singkat sambil bersiap meninggalkan ruangan diiringi suster di belakangnya. “Jaga dirimu baik2.”

Risa bertanya-tanya dalam hati apa yang harus ia lakukan. Tuhan pasti mempunyai maksud tersendiri dibalik semua ini. Risa tidak marah atau menolak menerima kenyataan. Tidak ada waktu untuk memikirkannya, sia-sia.

Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanya memanfaatkan hidupnya yang terbatas ini bersama orang2 yang sama sekali baru baginya. Lagipula kelihatannya mereka orang baik. Aku harus tegar, sebisanya tidak merepotkan dan membuat keluarga ini khawatir, putusnya mantap. Tak lama kemudian, ayah dan Viko muncul.

“syukurlah kau sudah sadar. Ayah pamit pulang dulu, kakakmu berkeras menjagamu sendiri malam ini. Lusa ayah akan mengantarmu pulang,” ujar ayahnya sambil mengecup lembut keningnya dan membelai rambutnya.

“tenang saja Yah, besok ayah masih harus kerja kan,” sahut Viko pengertian.

“pulanglah Yah, aku baik2 saja,” balas Risa, berusaha tersenyum menenangkan.

Ayahnya dengan berat hati meninggalkan ruangan diantar Viko. Risa akan merasa terharu melihat dirinya begitu diperhatikan kalau saja tidak sedang pusing memikirkan kejadian ini. Tentu ia tahu bahwa Anitalah yang sebenarnya mereka pedulikan. Tetapi kenyataan bahwa mereka hidup tanpa seorang ibu ditambah putri yang sakit-sakitan seolah memberi kesedihan berlarut-larut dalam keluarga ini, membuatnya tidak tega.

Risa merasa kaku dalam keheningan di ruangan itu, bagaimanapun juga ia tidak mengenal mereka. Malam ini terasa amat panjang. Risa bermalam ditemani kakaknya. Ia tidak tahu bagaimana hubungan Anita dengan kelurarganya sehingga ia bingung hendak berkat a apa. 

Risa lebih tidak mengerti akan kondisi tubuhnya yang terasa nyeri seakan ada memar-memar yang tidak terlihat. Ada apa sih dengan badan ini, pikirnya sebal. Viko muncul kembali ke kamarnya, kelihatan lega, sambil memijat-mijat pundaknya yang pegal.

“akhirnya aku berhasil membujuk ayah untuk pulang,” kata Viko yang sekarang duduk di tempat tidurnya, berusaha membetulkan sandaran Risa.

Keadaan hening kembali. Setelah melihat adiknya tidak berkomentar atau hendak berbicara, maka Viko melanjutkan obrolannya.

“maafkan kakak, Ta,” kata Viko seraya memeluk adiknya, Risa membiarkan dirinya dipeluk walaupun hal ini diluar kemauannya. “kalau aku bisa menjagamu dengan bak, tentunya kamu tidak akan berada disini. Kakak merasa saangaat menyesal. Kakak takut sekali melihatmu, mengira tidak ada kesempatan untuk meminta maaf padamu.”

Risa yang masih dalam pelukan erat kakaknya, bingung harus berkata apasehingga ia menanggapi tanpa berpikir terlebih dahulu.

“ng.. itu..sebenernya..eh..” kata Risa salah tingkah lalu cepat-cepat menutupi kecanggungannya. “sudahlah, tidak apa-apa.”

“hm..baiklah, yang penting kamu sudah sehat. Kakak sangat bersyukur,” kata Viko sambil melepas pelukannya, kembali menegakkan diri. Viko memegang kedua lengan Risa, sedikit mengguncangnya sambil berkata serius, “berjanjilah padaku! Kau tidak akan bertindak ceroboh lagi. Paham?”

“baik,” jawabnya patuh, mengira-ngira tindakan ceroboh apa yang bisa dilakukannya di kemudian hari.

“nah, lebih baik kamu tidur sekarang,” kata Viko mengakhiri percakapan, mencium dahinya sekilas.

Viko merapikan selimutnya, menyuruhnya tidur lalu berjalan ke jendela dan menyibak tirainya. Diluar langit sudah gelap, kakaknya berdiri termenung menatap ke bawah dibalik jendela. Risa belum pernah mengamati kakaknya sejelas ini. Ia memandang bayangan Viko yang terpantul di jendela. 

Tubuhnya jangkung dan tegap, tangannya kekar dan kuat, rambutnya hitam lurusnya agak panjang, matanya kadang menyorot sedih. Apakah ia percaya kalau aku mengatakan bahwa aku bukan adiknya. Bukankah hal itu justru membuat Viko bertambah khawatir.

Aku harus melupakan diriku sementara ini, pikirnya serius. Tapi Risa merasa bersalah begitu teringat bahwa ia berada dalam tubuh Anita dan tidak sanggup berbuat apa-apa. Dimanakah Anita? Apakah Anita sudah meninggal? Apakah keluarganya akan menyadari bahwa ia bukan Anita? Apakah yang sebenarnya terjadi padanya? Mengapa ia tidak ingat tentang dirinya? Lalu bagaimana dengan keluarganya yang sebenarnya? Risa berusaha tidak mengiraukan pertanyaanpertanyaan yang tidak akan pernah terjawab ini. Dia sadar bahwa ia merasa kesepian, taakut dan terasing saat itu. 

Tanpa terasa ia menguap lalu memejamkan mata, berharap ketika terbangun nanti, ia sudah kembali ke tempat aslinya.

***
Risa terbangun tepat saat makan pagi, Viko membantu menyuapinya didampingi suster yang mengawasinya. Risa sama sekali tidak senang dengan makanan RS yang mencakup bubur, sebutir bola daging berukuran kecil, telur rebus dan sayur. Semuanya sudah ditakar terlebih dahulu, porsinya sedikit dan rasanya tawar.

Risa ingn sekali tidak menghabiskan makanan itu walaupun ia lapar sekali. Andai saja susternya tidak memandanginya penuh senyum seakan dia anak yang manis dan penurut, pikirnya kecewa. Setelah selesai menyantap telurnya, suster membawa piring makanannya. Risa malah merasa lebih lapar dari sebelumnya.

“Viko, eh Kak,” panggil Risa ragu-ragu.

“gakpapa kok, panggil Viko aja kalo kamu lebih suka gitu,” jawab Viko.

“ng..sekolahku gimana?” tanya Risa khawatir.

“tahun ajaran baru sebulan lagi dimulai. Tapi ayah sudah memberi tahu kepala sekolahmu kalau kamu udah berhenti,” kata Viko. “kamu bisa istirahat dirumah, kalau bosan ya jalan-jalan yang deket-deket aja. Tapi kalo mau pergi kemana ntar kakak temenin deh.”

“oh..” gumam Risa. Syukurlah, pikirnya, ia terhindar bertemu teman-teman dan guru yang tidak ia kenal. “berarti nganggur dong!” sahutnya kemudian, tak percaya. Ia bisa tidur dan bangun sesukanya, melakukan apa saja yang diinginkan. 

Begitu bebas tanpa takut ada yang melarang. Ini sesuatu yang hebat atau malah mengerikan baginya.

Viko geli mendengar komentarnya ini.

“nggak juga, kamu bisa bantu kakak ngerjain tugas atau bantu ngetik atau bantu bik Ti di dapur. O iya aku lupa, kamu kan sama sekali gak bisa masak. Hua ha ha.”

“huh, maunya,” sahut Risa ketus setengah bercanda.

“ngambek niihh. Anak mnja bisa ngambek juga. Berarti sudah sehat dong sekarang,” gurau Viko. “Lho?! Mau kemana?”

Risa menegakkan tubuhnya, kakinya turun dari tempat tidur.

“kamar mandi,” jawab Risa singkat.

Ia berjalan, awalnya agak terhuyung namu Viko segera membantu menuntunnya hingga kedepan pintu kamar mandi.

“udah, kakak tunggu diluar aja!” kata Risa tegas.

“ntar kalo ada apa-apa, pencet bel di dalam ya.”kata Viko. 

Sebagian kata-katanya teredam bunyi pintu yang setengah di banting.

“aku bukan anak kecil tau! Udah sembuh kok!” gerutu Risa dari dalam kamar mandi.

Tertatap olehnya cermin besar di kamar mandi. Cantik! Cantik sekali perempuan ini, yang tentu saja ia sedang mengagumi dirinya sendiri. Matanya balas memandangnya teliti dari cermin. Tubuhnya tinggi semampai, rambutnya terurai panjang, agak kusut.

Dia terus mengamati dirinya sendiri di cermin selama beberapa saat sampai akhirnya dia mengulurkan sebelah tangannya sampai menyentuh cermin. Sejenak telapak tangan kananya terlihat bersentuhan dengan telapak tangan dicermin. Ini benar-benar aneh, pikirnya. Lalu tanpa terasa ia bergumam pada sosok di cermin itu,

“halo!”

Mau tak mau Risa teringat sepotong kalimat ayahnya yang didengarnya kemarin lusa. “..ia mirip ibunya..”Risa melnjutkan,

“kau mirip sekali dengan ibumu,” tangannya sekarang berada seakan sedang membelai rambut sosok dalam cermin, tanpa sadar ia tersenyum sedih, yang dibalas senyum sosok itu. Inilah Anita, katanya dalam hati. Hatinya terasa pedih dan merana.

“kau harus memberiku kekuatan. Terus terang, apakah kau tau saat ini aku sedang sangat gelisah? Semuanya baru bagiku. Aku tidak tahu apa yang sedang berlangsung saat ini,” katanya putus asa, mengangkat bahu tanda putus asa, tenggorokannya tercekat, susah payah menelan ludah.

Seandainya saja Anita dalam cermin itu hidup, Risa pasti sudah meminta petunjuk apa yang harus dilakukannya. Akhirnya ia menguatkan diri. Risa berputar-putar di depan cermin, melihat dirinya sejelas mungkin dari berbagai sudut.

“tenang saja. Aku akan menjaga kondisi badanmu dengan baik,” katanya berjanji.

Risa tidak bisa berlama-lama karena terdengar bunyi ketukan di pintu. Risa menahan rasa sedih ini lalu keluar.

“lama banget. Nih ganti baju dulu, ayah lagi dalam perjalanan ke sini,” kata Viko.

Perjalanan pulang dari RS sedkit mencerahkan suasana hatinya. Risa senang bisa melihat suasana diluar. Padatnya kendaraan di jalan raya, para pejalan kaki berjalan berpasangan sepanjang trotoar, seorang tukang becak yang tertidur pulas dalam becaknya sendiri, orang-orang keluar dari toko sambil menenteng belanjaan, papan iklan dimana-mana, langit diatasnya begitu terang, pepohonan tampa sekelebat bayangan dari dalam mobil mereka. Mereka berada dalam antrian panjang lampu merah saat ini. Keheningan saat menunggu membuatnya agak merasa canggung.

“kamu gakpapa Ta? Mukamu pucat,” kata ayahnya tiba-tiba ketika menoleh ke belakang, melihat keadaanya, membuat Risa terlonjak. Viko membalikkan badan, memandangnya juga.

“apa? Oh nggakpapa, perasaan ayah aja,” kata Risa sembari menarik napas. Ayahnya rupanya tidak sependapat.

Bunyi klakson kendaraan dibelakang mereka yang bertubi-tubi menandakan lampu lalu lintas sudah hijau.

“ayah, kita sekarang di kota mana?” tanya Risa, ingin tau perihal keberadaannya.

Ayahnya menatap Risa dengan pandangan keheranan melalui kaca spion, rupanya mengira Risa sedang bercanda . viko menanggapi lebih dulu setengah bergurau sambilmemandangnya dengan ekspresi tidak percaya,

“wah wah wah.. terlalu lama tidur membuatmu terbelakang rupanya. Dari juara satu mendadak jadi berubah satu dari belakang. Benar-benar ironis.”

“Malang. Memangnya kamu mengira kita akanpergi kemana?” tanya ayahnya.

“oh kupikir kita akan liburan ke suatu tempat,” kata Risa cepat-cepat mencari alasan, dalam hati merasa menyesal karena telah menanyakan pertanyaan aneh dan berharap keluarganya tidak curiga.

Ayah rupanya salah menanggapi pertanyaan Risa dengan mengatakan hal diluar bayangannya.

“jangan khawatir...,” kata ayah menenangkan. Di belakang, Risa tampak tidak tahu apa pastinya yang perlu dikhawatirkan. “ayah sudah bicara kepada kepala sekolahmu, mengatakan kalau kau berobat diluar negeri. Tentunya berita itu pasti tersebar ke teman-teman sekolahmu. Jadi mereka tidak akan repot mengganggumu dengan telepon-telepon atau kunjungan yang membuatmu tidak senang.”

“benarkar???” tanya Risa girang padahal dia sudah tahu jawabnya. Horeee! Dia bebas! Tidak ada telepon! Tidak ada kunjungan! Sudah cukup merepotkan berusaha mengenal ayah dan Viko tanpa ditambah serombongan anak yang tidak dikenalnya.

“seumpama aku bertemu salah satu teman Anita...,” gumamnya seraya berandai ia tenga disapa orang yang kira-kira mengenalnya dijalan. “aha! Aku bisa pura-pura kena Amnesia. Kalau diajak bicara ya tinggal ngangguk atau geleng kepala lalu buru-buru bilang harus pulang. Yang paling penting jangan berlama-lama. Hmm .. ke juga.”

Risa sibuk melihat pemandangan diluar kaca mobil sambil mengira-ngira kemungkinan tidak disangka-sangka apa saja yang bakalan dihadapinya. Dia juga tidak mengenal perilaku Anita sehari hari. Hal itu tidak akan banyak berpengaruh, pikirnya.

Setelah 20 menit berlalu, mereka tiba dirumah. Viko membawa masuk barang-barang, Risa mengikuti di belakangnya sementara ayah memasukkan mobil ke garasi. Mula-mula Risa merasa canggung sekaligus gembira ketika hendak masuk rumah. Maka ia masuk dengan perlahan sambil melihat-lihat. Saking sibuknya mengamati, ia berjalan tidak melihat kedepan sehingga tanpa sadar hampir menabrak seseorang di tikungan kamar mandi. Orang itu berteriak kencang sampai Risa terkejut setengah mati.

“NON TATA! Ya ampun Non.. Bibik senang sekali Non pulang,” kata perempuan setengah baya, agak gendut tapi energik sambil menyalaminya tanpa henti. “segar waras. Gusti Allah matur nuwun. Bibik doain Non terus, biar cepet sembuh.”

Risa terpukau mendengar kata-kata Bibik pengurus rumah yang meledak-ledak, kepalanya mengangguk naik turun,

“terima kasih, Bik. Bibik baiiikk banget,” kata Risa akrab, memeluk Bibiknya, seakan sudah lama mengenal Bibik ini.

“Bibik buatin teh bentar ya Non,” kata Bibik yang sedang senang bukan main, menghambur cepat kedapur.

Kesan pertama Risa adalah rumah itu nyaman sekali. Di bagian tengah rumah terdapat taman berbentuk lingkaran yang merupakan pusat sama halnya seperti alun-alun kota. Dari ruang keluarga, ruang makan, dapur, kamar pembantu dan kamar tidur yang terletak di seberang dapat melihat kearah taman. Sebagian besar dinding yang menghadap taman dipenuhi jendela dan pintu.

Sinar matahari menerangi bagian dalam rumah disertai hembusan angin sepoi. Disebelah kiri taman terdapat ruangan kecil yang terpisah dari ruang lainnya. Ruang ini adalah ruang kerja berisi komputer, sebuah lemari penuh buku, rak buku gantung, peta daerah, telepon yang bentuknya sama dengan telepon diruang keluarga. Kamar yang ada diseberangtaman tidak ditempati, hanya kamar tamu jika ada saudara yang menginap.

Ruang tengah terdiri dari ruang keluarga dan meja makan yang terletak bersebelahan tanpa sekat. Rumah itu mempunyai dua kamar mandi. Kamar mandi yang satu bisa digunakan oleh siapa saja, letaknya didekat meja makan dan ruang tamu, disebelah dapur. Sedangkan kamar mandi satunya berada ddalam kamar ayah. Ruang tamu dibatasi oleh folding door yang ditutup hanya pada malam hari.

“wow, jadi ini kamarku,” kata Risa gembira melihat dinding kamarnya yang bercat ungu.

Sebenarnya kamar itu kecil tapi Risa sangat menyukainya. Dia sedang asyik menjungkat-jungkit tempat tidurnya yang empuk sambil melihat barang-barang di dalam kamar dengan kagum. Ada lampu tidak lucu, jam meja bentuk bunga dan coca cola, fotonya, poster spice Girls dan seorang perempuan Indian, kotak tempat kosmetik, lemari berisi album fotonya dan buku bacaan seperti komik dan novel, piano mini, radio, rak kaset serta lemari baju. Risa sebenarnya agak sungkan harus tinggal disini sekaligus merasa berdebar-debar.

“senang ya Non bisa pulang kerumah?” tanya bibik begitu melihat tingkahnya sambil melihat teh.

“he’eh” kata Risa mengiyakan sambil menyeruput tehnya.

“kalau perlu apa-apa, bibik ada didapur,”pesan bibik saat meninggalkan ruangan.

Risa memandang kembali kamar itukemudian ayahnya muncul dipintu. Risa tersenyum. Ayahnya duduk disebelahnya.

“bagaimana?senang?”

“iya”

“Mm.. Ta?” ucap ayahnya berhati-hati.

“apa”

“ayah sudah mengatur kepergianmu ke Singapura bulan depan. Kamu setuju kan?”

“ke Singapura? Ngapain?”saking terkejutnya, Risa sampai lupa berkata formal kepada ayahnya.

“ya berobat, seperti biasa,” kata ayah kaget, setengah kecewa melihat Risa kurang tertarik pada ajakannya.

“ayah harap kamu tidak menolaknya. Ayah akan melakukan apapun asal ayah bisa melihatmu lebih lama. Kita harus tetap berjuang bersama. Kamu tidak boleh menyerah. Mau kan?”

“Ng.. iya,” jawab Risa bingung, matanya bergerak-gerak gelisah. “tapi nanti Tata pikir-pikir dulu aja Yah. Tata ngerasa baek-baek aja kok.”

“baik, baik..ayah tidak akan memaksamu. Tapi pertimbangkanlah masak-masak,”kata ayah pasrah, membelai kepala Risa. “sana, pergi tidur. Kamu kan belum sembuh benar.”

“tapi yah, ini kan asih siang?”kata Risa yang jelas-jelas bingung,melihat kearah jendela yang terang benderang.

“ya udah kalo kamu tidak mengantuk.”

“Hei Ta, kakak punya buku bacaan nih. Baru beli kemarin,”kata Viko dari ambang pintu seraya melempar 2 majalah ke pangkuannya lalu beralih pergi.

“yok, trims,”Risa menyahut lalu membuka-buka halamannya. “ayah tinggal dulu ya, kamu santai-santai aja baca buku,”kata ayah sambil menepuk bahunya. Risa tersenyum mengangguk.

Malamnya, Risa menghenyakkan diri dikasurnya yang empuk. Hari ini dia telah melakukan sederet kegiatanyang umum seperti makan siang, mandi, menonton TV bersama ayah, makan malam. 

Walaupun begitu ia masih merasa tegang. Ia harus bisa menyesuaikan diri secepatnya karena disinilah, di dekat orang-orang inilah ia akan menghabiskan sebagian besar waktunya.

“Anita..,” katanya tiba-tiba, matanya memandang langit-langit kamarnya, “kamu dimana,?”

Memang susah kalau mau tak mau kau harus bertindak seperti orang lain. Ia harus memulai segalanya dari nol, membuatnya merasa cepat lelah. Ditambah lagi persoalan lan yang untuk sementara ia lupakan. Ia agak sedih dengan segala keterasingan ini namun ia tidak takut mati. Jika ia meninggal nanti, paling tidak ia merasa lega, tidak perlu memikirkan apa-apa. Risa pun tertidur tanpa sempat mematikan lampu kamarnya.
Previous
Next Post »
Partner Kiryuu