CHAPTER 15: 10 TAHUN KEMUDIAN
“Bobby, kamu sudah siap?” panggil Risa nyaring.
“iya bentar,” sahut suara melengking di kejauhan.
“Bobby, kamu di mana?” panggil Risa, berkeliling rumah
mencari Bobby dan berhenti ketika melihat Bobby meringkuk dibawah meja makan.
Risa menariknya, tangan kirinya berkacak pinggang, “apa yang kamu lakukan
disitu?”
“mengambil mobilku ma,” jawab Bobby menengadah memandang
mamanya sambil tersenyum, memperlihatkan satu gigi depannya yang tanggal. Bobby
buru-buru menyembunyikan mainan mobil-mobilannya dibelakang punggungnya begitu
melihat tatapan marah Risa.
“ayo kita sudah hampir terlambat kerumah kakek,” kata risa
cepat, berjongkok sehingga sejajar dengan anaknya, dengan kilat memasukkan baju
dan merapikan rambut Bobby dengan tangan. “kamu tidak perlu membawa mainanmu.”
“tapi ma...” protes Bobby sambil memandang sayang pada mobil mainan di tangannya namun perhatiannya teralih oleh kedatangan papanya.
“tapi ma...” protes Bobby sambil memandang sayang pada mobil mainan di tangannya namun perhatiannya teralih oleh kedatangan papanya.
“berangkat sekarang Ris?” tanya Viko, menyelipkan kacamata
kedalam kantong bajunya lalu mengambil kunci mobil dari saku celananya.
“nah, selesai,” kata Risa puas sambil mengecup kening
Bobby, tersenyum, lalu bangkit berdiri.
“tapi ma, aku mau....” kata Bobby merengek sambil
menarik-narik rok Risa namun risa tidak menghiraukannya.
“aduh, dimana aku meletakkan tasku,” kata Risa bingung lalu
bergegas mencarinya di kamar.
“kenapa Bob?” tanya Viko ramah seraya menggendong Bobby
yang bermuka muram menuju halaman depan.
“boleh aku bawa ini pa?” tanyanya penuh harap,
memperlihatkan mainannya. “boleh ya.”
“hm...papa rasa tidak perlu,” jawab Viko bijasana lalu
cepat-cepat menghibur ketika melihat Bobby tampak tidak bersemangat pergi.
“kakek akan menghadiahkan mainan baru buatmu.”
“benar??? Horeee,” seru Bobby dengan mata bersinar-sinar,
kembali bersemangat lalu memaksa turun, kembali masuk rumah. “aku lupa topiku,”
katanya seraya berlari-lari riang.
Viko mengawasinya sampai menghilang dari pandangan dengan
maklum. Benar-benar pelupa, sama seperti ibunya, batinnya. Tanpa terasa Bobby
sudah sebesar ini. Bobby baru berusia enam tahun. Tapi tingkahnya lebih dewasa
daripada anak seumurannya. Ia sangat penurut dan pengertian sehingga tidak
membuat mereka repot.
Sewaktu tahu anak mereka laki-laki, kami memberinya nama
Bobby, dengan harapan bisa mengingat Bobby, sahabat risa di masa lalu, setiap
saat dalam hati mereka. Viko mengerti betapa Risa sangat mnghargai sahabatnya
itu. Selain itu, jika saja bukan karena mereka, Bobby tentunya tidak akan
meninggal. Pada saat itu Risa keluar dari dalam rumah menenteng tas dan
bungkusan besar sambil berkomat-kamit sendiri.
“...kunci kamar, jendela ditutup, kompor sudah mati, bawaan
untuk ayah, tas, kurang apalagi ya...” kata Risa, berhenti ketika melihatnya
lalu memandang berkeliling seolah mencari sesuatu. “lho?! Bobby mana?”
“di dalam, lagi ngambil topi. Sudahlah jangan serius gitu,
santai dikit,” bujuk Viko seraya mengedipkan mata kepada Risa yang tampak
kelewat sibuk.
Risa membuka mulut hendak membantah tapi mengurungkan
niatnya, memandangnya sewot.
“baik. Baik. Aku mau ngeluarin mobil dulu,” kata Viko buru-buru,
melihat tatapan membakar Risa.
“hmph... biar kujemput Bobby,” gumam risa menghela napas.
Namun sebelum ia masuk ke dalam rumah, Bobby sudah muncul duluan memakai topi
terbalik, tampak senang dan bergaya.
“ayo mama, nanti telat,” ajak Bobby gembira, menirukan cara
bicara mamanya. Risa sampai terheran-heran melihat sikapnya. Ia tidak mengerti
apa yang membuat anaknya begitu bersemangat.
Risa mengunci pintu, menggiring Bobby keluar pagar dimana
Viko sudah menunggu didalam mobil dan yang terakhir menggembok pintu pagar.
Risa duduk menemani Bobby di bangku belakang. Sepanjang perjalanan menuju rumah
ayah Viko, Bobby berceloteh tanpa henti. Ia menceritakan tentang temannya yang
bernama Anastasia, Riki anak tetangga sebelah yang kemarin bermain di rumah, buku
cerita kesukaannya, menerka apakah dirumah kakeknya ada ice cream. Risa
menanggapi sepintas-sepintas. Sekarang risa sedang menasehati Bobby supaya
tidak mengacau di sana atau membuat repot kakeknya.
“dan ingat! Nanti kalo ketemu kakek bilang apa?” tanya Risa
mengetes, menahan Bobby dengan kedua tangannya agar tidak tersungkur ketika
Viko mengerem mobil mendadak.
“SELAMAt ULANG TAHUN KAKEK!” seru Bobby lantang,
merentangkan tangannya lebarlebar.
“pinterrr,” kata Risa ceria lalu memeluk Bobby dengan senang.
Di bangku depan, Viko tertawa geli. Sedari tadi ia menyimak
percakapan istri dan anaknya, kadang memandang mereka dari kaca spion. Risa
memberi pandangan menegur padanya. Viko tahu betul hal yang membuat Bobby
gembira adalah setiap berkunjung kerumah ayahnya, Bobby pasti diberi hadiah
sperti permen, bku gambar, pensil warna, balok susun. Tapi tadi ia membocorkan
rahasia bahwa ayahnya akan memberikan mainan baru kepada Bobby.
Mereka akhirnya tiba dirumah ayah Viko. Begitu pintu rumah
dibuka, terdengar suara ramai dari dalamnya. Bibik yang membuka pintu tampak
senang melihat kedatangan mereka.
“halo non, apa kabar? Sudah ditunggu-tunggu daritadi,”
katanya seraya menjabat tangan Risa. “ayo ayo masuk.”
“baik baik bik,” jawab Risa lalu melihat lebih banyak orang
dirumah itu. Sementara itu dibeakangnya, bibik sibuk menyapa Viko dan Bobby.
“lho den Bobby tambah tinggi ya.”
Ayah dan Viko datang menghampirinya dengan rindu, tampak
tua dengan rambut putihnya. Ia memeluk Risa singkat.
“selamat ulang tahunyah,” bisik Risa. “ini kado buat ayah.”
“terimakasih, senang rasanya bisa kumpul lagi,” kata ayah
Viko menerima bingkisan dari tangan Risa terharu selagi risa mencium kilat
kedua pipinya.
“SELAMAT ULANG TAHUN KAKEK!” seru Bobby mendadak dari
sebelahnya seperti yang sudah direncanakan. Risa tersenyum geli.
“o... Bobby. Kakek kangen sekali,” katanya seraya memeluk
Bobby dan menepuk pundaknya.
Bobby mencium kedua pipi kakeknya. “kamu sudah besar ya.”
“dari dulu kakek bilang sudah besar, berarti sama aja dong
sama tahun lalu,” kata Bobby polos namun masuk akal. Ayah mertuanya hanya
terkekeh.
“selamat ulang tahun ayah,” kata Viko, memeluk ayahnya
penuh rindu.
Risa menoleh ke arah lain dan melihat orang tuanya bersama
Letty sedang asyik menuang minuman ke dalam gelas-gelas kosong. Risa
menghampiri mereka.
“rokmu pendek banget ya let,” kata Risa sambil lalu.
“ah, kakak ini. Namanya juga remaja,” sahut Letty centil.
“oh hai Bobby.”
“ha tante,” Risa mendengar anaknya menyapa Letty. Ia
melirik mereka dan melihat Letty cemberut disapa seperti itu.
“bukan tante. Panggil aja kakak. Ingat ya! Kaaakak bukan
tante,” kata Letty pelan-pelan menasehati.
“iya tante. Eh maksudku kakak. Kok aneh ya,” jawab Bobby menurut
sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“halo pa, ma,” sapa Risa penuh nyaman.
“mama sudah tahu kamu pasti datang telat,” kata mamanya
sambil memberi pandangan penuh arti kepada ayahnya seakan berkata ‘betul kan
dugaanku’ .
“sehat-sehat aja Ris?” tanya ayahnya.
“eh ini cucu kakek.” Bobby digendong oleh ayahnya dan mendapat ciuman di
dahinya.
“halo kakek. Halo nenek,” sapa Bobby dengan suara
mungilnya.
“Bobby mau minum apa? Nenek ambilin ya,” tanya ibu Risa.
“apa kabar pa, ma,” sapa Viko yang muncul di sebelah Risa.
“kamu tambah cantik aja Let.”
Letty tersipu-sipu malu. Risa melirik Viko sekilas namun
Viko justru diam-diam mengalungkan tangan ke sekeliling pinggangnya dan
menariknya mendekat ke arahnya. Sekarang ganti Risa yang tersipu-sipu walaupun
tidak ditunjukkannya. Risa berpikir bahwa suaminya ini pandai sekali mengambil
hati orang.
“ayo ayo ini kuenya,” kata suara bibik membahana, mengatasi
suara ribut disana, membuat perhatian mereka teralih.
Maka hari itu mreka bergembira ria merayakan ulang tahun
ayah Viko. Ayah Viko meniup lilin diatas kue tart lalu memotong dan
membagi-bagikannya kepada semua orang. Viko asyik memotret momen-momen itu. Tak
lama kemudian mereka menyantap masakan sedap yang disediakan bibik. Bibik
bahkan ikut makan bersama mereka di meja. Bibik sudah menyediakan meja panjang
khusus untuk acara ulang tahun ini.
Bobby asyik berbicara dengan ayah Viko dan orang tuanya.
Bibik asyik mengobrol dengan Letty dan Viko. Risa hanya mendengar percakapan
yang berlangsung di meja itu sambil mengenang masa lalunya. Ia sangat
merindukan saat seperti ini. Semua orang terdekatnya berkumpul bersama
merayakan sesuatu, memeriahkan suasana dan terkadang bernostalgia.
“Bobby nggak pengen punya adik?” tanya ayah Viko tiba-tiba
dari ujung meja, membuat Risa tersedak sedangkan Viko menyemburkan sebagian air
yang tengah diminumnya.
“pengen!” jawab Bobby spontan. “aku pengen punya adik
perempuan.”
Orang tua Risa memandang kearahnya. Risa dan Viko segera
menguasai diri dan berpura-pura tidak mendengar pembicaraan ini sehingga tidak
perlu berkomentar.
“oh iya let, sekolahmu gimana?” tanya risa mencari topik
pembicaraan.
“biasa aja kak. Sering-sering dong maen ke rumah. Sepi juga
nggak ada kakak,” kata Letty.
Risa mengangguk lalu melihat ke seberang meja. Rupanya ayah
mertuanya masih membicarakan masalah anak bersama orang tuanya.
“kalau gitu minta adik sama mama papamu dong,” kata ayah
Risa menganjurkan kepada Bobby. Gawatnya, Bobby menanggapi serius ucapan
kakeknya.
“pa, Bobby minta adik,” seru Bobby menuntut, mulutnya penuh
makanan. “sekarang!”
“wah wah wah. Papa ragu Bobby bisa jaga adik. Jangan-jangan
nanti malah rebutan mainan,” kata viko menanggapi, dengan gugup meneguk
minumannya.
“enggak kok enggak, janji ya? Ya? Ya?” kata Bobby rewel.
“mirip siapa ya?” bisik Risa menyindir seraya mendekatkan
wajahnya ke telinga Viko.
Viko tersenyum geli mendengarnya. Rengekan Bobby
benar-benar mengingatkan akan dirinya dulu.
“kenapa sih tiba-tiba pengen punya adik?”
tanya risa menegur, mengatasi suara ribut anaknya. “gakpapa non. Jaman bibik
dulu punya anak sembilan itu biasa,” kata bibik mendukung, risa hanya bisa
menunduk lesu mendengar ucapan bibiknya. Satu anak saja sudah cukup menguras
perhatian apalagi sembilan, batinnya.
“mereka berdua ini seperti pengantin baru saja,” kata ayah
Viko sambil tersenyum genit. “jadi iri...”
“mama ini ngomong apa sih,” tegur Viko malu-malu.
“muka kakak merah tuh,” goda Letty ikut nimbrung.
“enggak,” kata Risa cepat, memberi tatapan mengancam kepada
adiknya.
“papa pengen gendong cucu lagi lho Vik,” kata ayah Risa
ikut-ikutan, membuat Viko tidak nyaman, bergerak gelisah di kursinya.
Risa dan viko saling pandang sejenak. Viko memandangnya
kemudian tersenyum. Risa menatapnya, ia tahu betul apa yang ada dalam pikiran
Viko. Rasanya baru kemarin mereka saling mengenal. Cara yang aneh untuk bertemu.
Lalu ia pun tersenyum. Dalam sekejap Risa melupakan bahwa mereka berada
ditengah keluarga mereka yang sekarang sedang mengamati mereka berdua.
Keheningan akhirnya dipecahkan oleh seruan bawel Bobby.
“AKU MINTA ADIK!”
-The End-
Sign up here with your email