Can You See Me? 14

CHAPTER 14: BILA HARUS MEMILIH




Risa mengerti betul apa yang dirasakan bobby. Ia juga tidak menyangkal bahwa ia menyukai Bobby. Hanya saja rasa suka itu berbeda dengan rasa sukanya terhadap Viko. Beda antara cinta dan persahabatan memang tipis sekali. Ia memandang jendela kamarnya dengan muram. Di luar, hujan turun dengan rintik-rintik padahal hari masih siang.
Bobby pria yang baik tapi entah mengapa Risa merasa bahwa Bobby bukanlah untuknya. Akan lebih baik bila Bobby menemukan orang lain yang berarti baginya. Sedangkan Viko.... Viko mempercayai dan mendukungnya disaat ia sedang sendiri, tanpa teman, tanpa ingatan dan segala ketidak pastian. Namun Viko ada disisinya, menerima dirinya apa adanya. Terlebih lagi, Viko membuatnya tegar saat berhadapan dengan kematian. Risa tahu bahwa ia mencintai pria yang tepat.
Mungkin wajar dalam hidup kau memiliki dan kehilangan. Namun ia tidak ingin kehilangan siapapun dalam hidupnya. Ia akan mengusahakan bagaimana caranya supaya dapat mempertahankan orang-orang yang dicintainya. Kalau perlu ia tidak usah memilih diantara kedua orang itu. Risa menghela napas panjang. Entah apakah hal ini yang terbaik untuk setiap orang. Tapi kenapa perasaannya tidak berkata demikian. Bukankah ia justru akan kehilangan mereka berdua. Ia tersadar dari lamunanya karena ketukan pintu. ‘tok tok tok’
“masuk.”
Risa melihat Letty memegang pegangan pintu di atas kepalanya lalu duduk di sampingnya sambil memeluk boneka kelinci milik Risa.

“kakak, main yu,” ajaknya.
“nggak. Kakak capek,” jawab Risa menggeleng.
“kakak kenapa? Sakit ya? Kok nggak pnggil dokter?” tanya Letty beruntun sembari naik ke tempat tidurnya.
“kakak sehat-sehat aja Cuma agak sedih,” kata Risa sambil memain-mainkan telinga boneka kelinci yang dipeluk Risa.
“sedih? Sedih kenapa? Tanya Letty ingin tahu, Risa diam saja. Ia tidak mungkin mengatakannya kepada adiknya yang masih kecil. “karena Letty ya? Letty janji gak akan nakal lagi. Letty Cuma pinjem boneka kelinci kakak bentar.”
Risa tersenyum lalu mengangkat Letty di pangkuannya.
“kakak sedih karena di luar hujan,” kata Risa berbohong. “sini cium pipi kakak biar kakak senang.”
“nggak mau ah. Napas kakak senang,” kata Letty bergurau. Risa memandangnya galak, setengah bergurau.
“apa?” tanya Risa mengancam seolah berkata ‘berani-beraninya’. Letty terkikik geli. “awas kamu ya...”
“kya kya kya, ampun , kya kakak ampun, wa...” pekik Letty kegelian sampai berguling-guling di ranjang. Risa menggelitiknya tak habis-habis, merasa perasaannya lebih riang.
Risa menghentikan gelitikannya ketika Letty hampir tergelincir jatuh ke lantai. Dengan terengahengah Letty langsung menghambur keluar kamar. Letty melongoknya dari balik pintu dan mengejeknya ‘wek’. Risa menyiapkan kedua tangannya, bersikap seperti hendak menggelitiknya, Letty langsung kabur.
***
“berilah aku kesempatan. Sekali saja. Ini satu-satunya permintaanku. Permintaanku yang pertama dan yang terakhir. Pertimbangkanlah Ris, aku sungguh-sungguh.”
“tapi Bobby..., aku juga menyukaimu. Aku tertarik padamu. Tapi hanya sebatas sahabat. Banyak perempuan yang tertarik kepadamu, kau tidak pernah menyadarinya. Kau juga harus memberi kesempatan pada salah satu dari mereka.”
Risa berdiri dalam penerangan cahaya lampu. Tiba-tiba saja Bobby memintanya bertemu di taman kota. Berhubung hubungan mereka mulai membaik, Risa menyanggupi kemauan sahabatnya itu. Namun ia tidak menyangka akan terlibat dalam pembicaraan seperti ini.
“tapi aku menyukaimu. Perasaanku tulus. Berkali-kali aku ingin menyerah tapi tidak bisa. Berilah kesempatan padaku Ris. Aku mohon.”
“kenapa kau memohon padaku padahal kau tahu apa jawabnya. Mungkin saja kau bisa cocok dengan cewek lain. Kau tidak akan pernah tahu sampai kau mengenal mereka, Bobby.”
“kau tidak mengerti. Aku belum pernah jatuh cinta kepada seseorang seperti ini. Aku hampir gila karenamu. Waktu kau mengalami kecelakaan, semua orang mengira kau tidak ada harapan. Tahukah kau apa yang kurasakan? Aku sangat menyesal! Terlebih aku tidak bisa melakukan apaapa untukmu. Aku tidak berdaya, hanya bisa berdoa bagi kesembuhanmu. Aku berjanji bila kau sembuh, aku akan menebus penyesalanku ini.”
“oh, Bobby. Kau sungguh tidak per...”
“dengarkan Ris. Sekarang kau hidup. Aku teramat sangat senang. Tuhan telah mengabulkan doaku. Aku berusaha menepati janjiku supaya kelak tidak menyesal.”
“aku tahu perasaanmu. Tapi tidak ada yang bisa mencegah kejadian itu. Semua orang sudah melakukan yang terbaik. Kau tidak perlu menyesal atau merasa bersalah. Kau sangat baik kepadaku selama ini. Justru aku yang tidak pernah berbuat sesuatu untukmu. Aku tahu kau sangat memperhatikanku. Aku tidak bisa membalas semua yang telah kau lakukan untukku. Aku sangat berterima kasih bisa mengenal dan mempunyai sahabat sepertimu.”
“hmmph, baiklah. Aku mengaku, aku kalah. Tidak ada tempat bagiku diantara kalian berdua. Tapi aku punya beberapa pertanyaan. Pikirkanlah sebelum kau menjawabnya.”
“pertanyaan? Apa?”
“ingat ya, pikirkan baik-baik. Seandainya kamu belum mengenal Viko, apa jawaban yang akan kau berikan padaku. Apakah kau akan menolakku?”
Risa merenung, memikirkan baik-baik pertanyaan Bobby.
“hm.... mungkin tidak. Mungkin saja aku akan menerimamu. Lagipula aku tidak punya alasan untuk menlak. Kau satu-satunya pria yang dekat denganku. Walaupun aku belum yakin benar akan perasaanku, aku akan mencobanya.”
“jadi kau menerimaku??? Lalu jika saat kita sedang berpacaran, kau bertemu dengan Viko. Apakah kau akan menyukainya?”
“ng...aku tak tahu. Sungguh membingungkan. Perlukah aku menjawab semua pertanyaan ini?”
“menurutmu? Aku ingin semuanya jelas. Aku tidak ingin bertanya-tanya tentang semua hal ini. Itu sangat mengganggu pikiranku. Bagiku ini sangat penting, lalu apa jawabanmu.”
“mungkin awalnya akan biasa-biasa saja tapi ketika mengenalnya lebih jauh, aku bisa saja jatuh cinta padanya. Entahlah...”
“kau yakin bisa bahagia bersamanya?”
“tentu saja.”
“tapi apa yang terjadi kalau dia sendiri tidak yakin bisa membahagiakanmu. Aku tidak bisa membiarkanu bersama pria yang bahkan tidak yakin akan dirinya sendiri.”
“apa maksudmu?! Kenapa kau begitu ingin tahu urusan orang lain. Aku seperti orang bodoh saja menjawab semua pertanyaan-pertanyaan konyol ini.”
“kau tidak mengerti Ris. Kau bukan orang lain bagiku.”
“oh sudahlah. Aku mau pulang. Ada apa denganmu hari ini. Kau membuatku pusing.”
“Risa.”
Risa langsung membeku mendengar suara yang sangat dikenalnya. Ia pun langsung menoleh kaget.
“Viko? Apa yang kau lakukan di sini? Sejak kapan kau datang? Bagaimana bisa kemari? Ini bukan kebetulan kan?” tanya Risa bertubi-tubi.
Tanpa sepengetahuan Risa,Bobby dan Viko sudah merencanakan pertemuan ini. Viko yang rupanya merasa tidak yakin akan dirinya, ingin tahu bagaimana perasaan Risa pada Bobby.
“ng... aku mendengar pembicaraan kalian. Aku datang karena sudah janjian dengan Bobby.”
“apa? Kenapa harus sembunyi-sembunyi? Apa yang sebetulnya kalian rencanakan? Ini tidak lucu. Kenapa kalian mempermainkanku...”
“Ris, sebaiknya hubungan kita jangan diteruskan. Sampai di sini saja. Aku sudah memikirkannya baik-baik.”
“apa? Tapi kenapa?” tanya Risa bingung sekaligus terperanjat. “kau tidak sedang bercanda kan?” “tidak. Sebenarnya aku tidak menginginkannya tapi setelah mendengar pembicaraan kalian, aku jadi sadar. Seharusnya aku tidak pernah datang dalam kehidupanmu,” nada suara Viko terdengar getir. Risa tidak tahan menatap mata Viko. Ingin menangis rasanya. “aku ingin kau kembali menjadi Risa yang dulu.”
“aku masih tetap seperti dulu,” balas Risa ngotot. “memangnya apa yang membuatmu memutuskanku?”
“kurasa aku tidak berhak menjadi kekasihmu. Kalau kau lebih berbahagia bersamanya, aku akan meninggalkanmu,” kata Viko tercekat seraya memantapkan diri.
“kau tahu apa yang kau katakan? Mengapa kau begitu yakin? Kenapa kau begitu mudah menyerah,” Risa tidak menyangka bisa mendengar hal ini terucap dari mulut Viko. “dengar Vik, aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Apa itu belum cukup?”
“aku juga mencintaimu. Aku sangat senang bisa melihatmu kembali. Kau membuat semangatku kembali. Bagiku hal itu sudah cukup. Aku lega kalau menyerahkanmu padanya. Dia akan...”
“hentikan! Kumohon jangan katakan lagi. Aku tidak ingin mendengarnya. Ini tidak benar. Kau tidak bisa berbuat begini padaku. Aku benci sikapmu yang seperti ini. Kenapa kau mau meninggalkanku? Tak tahukah kau, aku sangat mencintaimu Viko...” “aku serius Ris,” ucap Viko meyakinkannya.
“tapi. Ta...” Risa hendak protes tapi Viko sudah mencium lembut bibirnya. Matanya membelalak kaget, tubuhnya langsung lemas.
Tidak. Bukan ini yang aku inginkan. Aku tidak menginginkan ciuman perpisahan. Terlalu menyakitkan. Apa yang harus kulakukan, batin risa meminta tolong. Air matanya merebak.
“tenang saja. Aku tidk akan meninggalkanmu. Kita tetaplah teman baik. Sudahlah, jangan menangis lagi. Kau ini masih sama cengengnya seperti dulu,” kata Viko, memaksakan diri tersenyum.
“Vik, kumohon ... jangan menyerahkanku seperti hari itu. Aku tidak suka,” ratap Risa putus asa.
“nantinya kau akan merasa lebih baik. Percayalah padaku.”
“kau ini sangat bodoh Vik. Benar-bena bodoh.” “jaga dia baik-baik,” pesan Viko pada Bobby.
“pasti,” sahut Bobby tegas.
“nah, sampa jumpa,” ucap Viko sambil melamba ke arahnya.
“aku tidak akan memaafkanmu Vik, aku ingin kau membayarnya kelak. Aku tidak akan lupa...” seru Risa asal saja untuk memperoleh secuil perhatian Viko.
“aku akan membayarnya suatu saat. Aku janji. Kau tidak perlu khawatir,” kata Viko tenang, membuat Risa lebih terpuruk.
“Viko!” panggil Risa menyayat.
Jangan memanggil Ris.. dan jangan menatapku seperti itu, batin Viko. Kau membuatku lemah. Aku ingin berada di sisimu, menghiburu dan menghentikan tangismu. Susah payah aku memutuskan untuk meninggalkanmu. Aku tidak ingin berubah pikiran. Aku tidak akan melupakanmu. Semua kenangan kita bersama akan kusimpan dalam hatiku. Kau membuat hidupku berubah. Hanya ini yang bisa kulakukan untukmu. 
Aku sangat berterima kasih padamu. Belum pernah aku merasa begitu dicintai seperti ini. Kurasa aku juga tidak boleh egois. Kau sudah mempunyai seseorang yang begitu menyayangi dan mempertikanmu. Dia tidak akan mengecewakanmu. Tapi kenapa hati ini ingin menjerit. Mengapa ia tak kuasa mengendalikan perasaannya. Risa... Risa... Risa... sampai kapanpun aku ingin memanggil namamu. Sepanjang hidupku aku ingin memanggilmu. Aku akan sangat merindukanmu. Tanpa disadarinya, Viko meneteskan air mata. 
Tidak. Tidak. Ini tidak benar. Viko... benarkah hubungan kita sampai di sini. Apakah semuanya sudah berakhir? Aku tidak ingin mempercayainya. Aku begitu menyukaimu. Hatiku sakit sekali. Apakah semua kenangan kita sudah kau lupakan? Sudah tidak tersisa lagi? Viko... tahukah kau... kau telah mengambil masa depanku. Apa yang akan kulakukan tanpa dirimu. Aku tidak ingin kehilanganmu...
Bagaimana caranya supaya kau tetap berada di sisiku. Bagaimana aku bisa meyakinkanmu. Aku sudah melakukan segalanya tapi kau tetap pergi. Percuma saja. Tak ada yang bisa kulakukan saat ini. Tahukah kau betapa sedihnya hanya bisa memandang sosokmu semakin jauh dariku. Aku ingat pertama kali kau menggandeng tanganku sewaktu kita baru saling mengenal. Saat itu kau menuntunku di depan. Aku merasa ingin berjalan sepanjang jalan bersamamu, menatap sosokmu di dekatku.
“Viko....ini bohong kan...” katanya lirih di tengah isak tangisnya.
“Ris, sudahlah. Jangan bersedih lagi,” kata Bobby menghibur, sorot matanya sedih. “sudahlah
Ris. Kalian tetap berteman. Kau masih bisa bertemu dan mengobrol kapan saja.”
“tidak. Aku harus mengejarnya. Aku harus,” kata Risa mantap.
“percuma Ris. Kau sudah dengar apa yang dikatakannya. Kau harus menerimanya,” kata Bobby mengingatkan.
“tidak. Dengarkan aku, Bobby. Walaupun dia meninggalkanku, aku akan mengejarnya. Tidak perduli apa yang dikatakannya atau dilakukannya, aku akan mengikutinya sampai kapanpun,” tekad Risa. Tanpa Viko, hidupnya tidak berarti.

“hmph.. baiklah,” kata Bobby sambil menghela napas. “kupikir aku masih punya harapan, ternyata tidak. Sampai detik ini aku tetap kalah darinya. Dia pria baik. Kejarlah dia. Aku berdoa untukmu.”
“terimakasih Bobby... kau tahu? Kau sangat berarti bagiku,” kata risa sambil memeluk sayang sahabatnya itu.
“aku tahu, aku tahu. Kau memang Risa yang kusayangi. Selamanya akan tetap kusayangi,” kata Bobby pengertian sambil menepuk punggung Risa untuk menenangkanya. Andai saja risa bisa memeluknya setiap saat, bersandar pada dirinya, batin Bobby penuh harap. Saat seperti ini tidak akan terulang kembali untuk yang kedua kalinya.
“kau juga, Bobby...” balas Risa tulus.
Risa menatap Bobby penuh terimakasih dengan mata sembapnya. Senyumnya begitu ramah dan damai membuat siapa pun yang melihatnya menjadi ikut tersenyum kepadanya. Risa melangkah mundur perlahan, masih tersenyum memandang sahabat terbaiknya sampai akhirnya uluran tangannya dan Bobby terlepas. Risa mengawasi Bobby sejenak sebelum ia memantapkan diri lalu berbalik hendak mengejar Viko. Risa tidak tahu begitu ia berpaling, senyum Bobby langsung lenyap.
Bobby ingin sekali menggapai tangan Risa yang baru saja terlepas darinya. Dengan begini ia telah menyerahkan sepenuhnya harapannya. Sedih rasanya menatap kepergian Risa yang seakan ikut membawa pergi hatinya. Entah dunia ini kejam atau tidak adil. Bobby merasa terjepit. Padahal ia tak ingin Risa pergi darinya tapi entah mengapa justru ia lepaskan. Mencintaimu memang melelahkan, tapi aku tidak pernah menyesal, batin Bobby sembari melihat satu-satunya orang yang disukainya menjauh darinya.
Kalau menyangkut cinta, orang memang tidak boleh menyerah. Tapi ada kalanya kita harus berhenti. Walaupun menyakitkan, tapi ada perasaan bahagia saat kau melihat orang yang kau sayangi berbahagia. Bobby bersedia melakukan apa saja asal Risa bahagia. Sayangnya, kebahagiaan Risa bukan bersama dirinya.
“semoga kau bahagia Ris,” gumam Bobby dan untuk pertama kalinya dia tersenyum.
Bobby mengambil napas dalam, merasa lega. Ia yakin ia telah melakukan hal yang benar. Risa seperti peri kecil dalam dongeng yang menyebarkan kebahagiaan di mana-mana. Ia begitu manis, polos dan jujur, membuat semua orang yang mengenalnya tidak akan melupakannya. Risa sudah beberapa meter di depannya, Bobby mengawasi. Bobby mengalihkan pandang ke ujung jalan, tiba-tiba dari ujung jalan muncul sebuah mobil yang melaju dengan kencangnya. Salah satu lampu depannya mati. Bobby memicingkan mata melihat pengemudinya. Mereka mabuk. Mobil itu oleng.
Jantung Bobby seakan berhenti berdetak. Detik berikutnya ia memandang kearah Risa dengan ngeri. Risa tepat hendak menyebrang jalan. Risa tidak menyadari kedatangan mobil itu. Bobby berlari sekuatnya, berharap bisa mencegah apa yang akan terjadi. Ia memanggil-manggil Risa namun Risa setengah melamun sehingga tidak memperhatikan sekelilingnya. Ia bisa merasakan napasnya memburu, rambutnya berkibar terhempas angin. Mengapa mereka belum menyembunyikan klaksonnya. Apa pengemudi itu tidak melihat Risa.
Hari makin larut. Risa berjalan dengan terhuyung, ia merapatkan jaketnya. Kakinya masih terasa lemas, ia belum sadar dari shocknya. Udara malam itu dingin menusuk. Ia bingung, tak tahu apa yang akan dilakukannya. Viko baru saja memutuskannya. Risa masih bisa melihat sosoknya di kejauhan. Ia ingin berlari mengejarnya tapi apa yang harus ia katakan nanti? Kelihatannya Viko sudah yakin dengan keputusannya. Risa menunduk, sibuk berpikir.
Risa tidak mengerti kenapa viko memutuskan hubungan mereka. Risa membuntuti viko tapi tidak berani mengejarnya. Napasnya sesenggukan. Air matanya tidak berhenti mengalir. Tentu saja hal itu membuatnya marah. Namun alih-alih marah, ia tidak bisa mengabaikan perasaan sedih yang dideranya. Ia tidak pernah menyangka segala harapannya kandas dalam sekejap.
Risa menatap punggung Viko dalam gelapnya malam. Orang yang selalu ia rindukan akan meninggalkannya. Risa tidak rela. Ia tidak mau. Kenapa Viko tidak mau berterus terang padanya. Risa tidak mengerti apa yang Viko pikirkan tentangnya.
Risa memperhatikan bahw Viko sudah dua kali berhenti sejenak di tepi jalan sebelum melanjutkan langkahnya. Namun Viko tidak menoleh ke belakang. Risa begitu putus asa. Tak ada yang bisa menolongnya. Tega-teganya Viko berbuat begini padanya. Ia menyebrang jalan tanpa menoleh. Tiba-tiba di belakangnya terdengar teriakan parau memecah keheningan, lamunanya langsung buyar.
“RISA!RISA!AWAS!”
Risa hendak menoleh namun mendadak tubuhnya serasa didorong paksa. Ada yang mendorongnya begitu kuat sampai ia jatuh tersungkur satu meter di depan. Risa menghantam aspal kasar, tangan yang menahan wajahnya terasa tergores panas.
Berikutnya Risa dikagetkan dengan bunyi memekakkan telinga membelah malam disusul derak mengerikan seperti bunyi hantaman benda keras. Bunyinya memantul dan menjadi super keras sehingga orang yang berada di ujung duniapun bisa mendengarnya. Risa hendak bangkit dan melihat apa yang terjadi namun seluruh tubuhnya mengejang kesakitan akibat terbentur keras.
“auch...ssh,” Risa merintih sambil memegang kakinya yang sakit serasa habis dipukuli dengan tongkat sementara tangannya sendiri terkilir.
Risa memejamkan mata, rasa sakit di tubuhnya masih menjalar. Detik berikutnya ia mendengar suara pintu mobil yang dibuka dan langkah-langkah kaki. Risa menoleh, napasnya tertahan. Ia baru saja terhindar dari kecelakaan. Risa tidak percaya. Ada yang menyelamatkannya! Namun bunyi memekakkan itu... apakah ada yang tertabrak? Ya ampun, ia tidak berani percaya. Risa ingin melihat lebih jelas namun terhalang kerumunan kaki tak jauh darinya.
“hey, kenapa dia tidur di sini. Hiks,” kata pria setengah baya itu cegukan.
“ANDY! DIA TERLUKA! Andi kita menabraknya. Sudah kukatakan supaya berhati-hati. Sadarlah Andy,” kata seorang wanita dengan histeris.
“sayang....Hiks, dia kan Cuma tidur. Biasalah gelandangan...,” umpat pria itu yang masih belum sadar apa yang telah dilakukannya.
“bukan. Sadarlah. Ya tuhan... kita harus bagaimana,” kata wanita itu kehilangan akal, tampak luar biasa panik.
Sekarang banyak orang berdatangan ke arah mereka. Risa bangkit tertatih-tatih sambil memegangi kakinya. Seseorang terguling di depan mobil yang hampir menabraknya. Ia menyeruak di antara kerumunan orang lalu jantungnya terasa berhenti.
“Bobby...?Bobby?” pekik Risa lemas.
Risa merasa dirinya merosot ke aspal. Ia merangkak dengan lemas ke sbelah Bobby sementara kerumunan orang di sekitarnya memekik dan menjerit-jerit. Keadaan Bobby sangat mengerikan. Darahnya mengucur keluar, napasnya hampir habis. Risa sampai takut memegangnya, takut justru akan mempengaruhi keadaannya. Orang-orang hanya berdiri diam menyaksikan mereka dan takut memindah Bobby.
“panggil! Ambulans!” sahut seseorang cepat.
“hai, kalian mau lari kemana,” teriak suara berat.
“BERHENTI!” teriak banyak suara.
“kami tidak salah. Anak itu yang tiba-tiba muncul,” sahut wanita itu.
“hiks. Siapa suruh dia tidur di sana,” pria itu tampak menyedihkan.
“kalian harus bertanggungjawab. Pacarmu mabuk,” jawab seorang wanita bersuara lantang.
“tahan saja dia. Aku tidak mau tahu,” sahut pacar pria mabuk itu.
“hiks, kalian mau ikut berpesta?”
“diam kau brengsek,” seru salah seorang kehabisan kesabaran.
“sudah, sudah. Jangan bertengkar. Kita awasi saja ereka,” kata orang yang lain menenangkan.
Risa tidak memperhatikan ribut-ribut itu. Bobby kesulitan bernapas. Risa memegang tangan Bobby dan mendekatkan wajah ke arahnya.
“hh..hhh..hhh,” Bobby menarik napas dengan tersendat-sendat.
“Bobby...sadarlah Bobby. Sadarlah,” Risa panik, menepuk-nepuk pelan wajah Bobby dengan tangan gemetarnya.
“R..Ri...sa?”
“bertahanlah. Bobby bertahanlah. Demi aku. Kumohon bertahanlah...” pinta Risa memelas. “kk..ka..u ss..se..lamat?” tanya Bobby susah payah, membuat air mata Risa semakin mengalir deras. Ia bisa merasakan bobby balas menggenggam erat tangannya.
“kenapa? Kenapa kau melakukannya. Kau jadi seperti ini...” kata Risa terbata-bata memandang wajah Bobby yang menatapnya. “apa? Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas.” Risa mendekatkan telinganya lalu mendengar suara sambar-samar Bobby. “maaf...kan..a...ku..hhhh,” Bobby menarik napas panjang lalu tubuhnya menjadi lemas. Kepalanya terkula lemas.
“Bobby? BOBBY! BOBBY! Bangunlah... kau tidak boleh mati. Jangan mati bobby. Tuhan kumohon... jangan ambil dia. Jangan dia. Bobby kau tidak boleh mati. Jangan meninggalkanku,” Risa mengguncang tubuh sahabatnya. Ia menrengek dan menangis histeris. Kepalanya sangat sakit. “TIDAAAAK!”
Bobby tidak bernapas, Risa mendekatkan telinganya ke dada bobby tetapi tidak terdengar suara detak jantung. Bobby sudah mati. Mati. Tidak akan kembali. Sementara itu kerumunan orang di belakangnya bertambah ribut tak terkendali.
“Risa? Apa yang terjadi?” tanya Viko yang datang karena suara ribut-ribut ini lalu menyadari siapa yang tergeletak di tanah. “ya ampuuun, Bobby?”
“Viko, Viko, katakan ini tidak benar. Bobby tidak mati.”
***
Viko menatap hampa tanah yang baru saja ditimbun di hadapannya.ia tidak menyangka hal ini bisa terjadi. Beberapa saat yang lalu ia masih bersamanya. Namun ia sudah tak ada lagi sekarang. Aku akan menjaga Risa, kata Viko dalam hati sambil menatap gundukan itu. Risa pasti sangat berarti bagimu sampai-sampai kau bersedia mengorbankan nyawamu. Aku akan membahagiakannya seperti yang kau harapkan. Jangan khawatir. Aku tidak akan melepaskannya apapun yang terjadi.
Aku tahu cinta itu sulit didapat. Banyak yang harus dikorbankan. Kau yang mengajariku tentang itu. Aku akan mempertahankannya. Aku tidak akan mengecewakanmu dan Risa. Terimakasih telah memperhatikannya selama ini. Kau bisa pergi dengan tenang.
Risa tidak seberapa ingat kejadian berikutnya. Semuanya berlalu begitu cepat. Hatinya sangat sedih. Dia telah kehilangan sahabat terbaiknya. Risa bahkan tidak sempat membalas semua kebaikan Bobby padanya. Segala yang ia miliki tidak akan sebanding dengan sahabatnya. Masamasa mereka sewaktu bersama di sekolah, pertengkaran mereka, rencana-rencana mereka, citacita mereka. Kini sekolahnya tak lagi sama seperti dulu, dengan ketiadaan Bobby. Bobby telah datang dan pergi mngisi lembaran hidupnya.
Angin membelai-bela rambutnya. Risa sadar ia berada di pemakaman yang hendak selesai. Angin bertiup agak kencang. Risa memandang memar pada tangannya. Andai saja ia tidak melamun, kecelakaan dan semua kejadian ini pasti tidak akan terjadi. Semua orang memakai pakaian serba hitam dan tampak sedih.
Jessy dan jenny terisak-isak. Si kembar juga sering menghabiskan waktu bersamanya dan Bobby. Ulah mereka selalu ada-ada saja. Mereka selalu bercanda dan tertawa riang bersama. Risa tidak pernah melihat mereka seperti ini, tampak sangat terpukul dan kacau. Hatinya tidak bisa lebih sakit dari ini. Risa tidak tahan mendengar sedu sedan di tempat itu. Ia lega ketika pemakaman berakhir. Viko bersamanya saat perjalanan pulang.
Mereka diam selama perjalanan. Risa memandang kelebat bangunan dan pepohonan dari kaca jendela, dirinya tampak murung dan putus asa. Risa menyadari bahwa Viko menatapnya. Mobil mereka berhenti dalam antrian lampu merah. Risa menoleh ke arah Viko di sebelahnya.
“mulai sekarang.. tidak ada lagi kata ‘kau’ dan ‘aku’ tetapi...” kata viko hendak memberitahu.
“kita,” potong Risa menyahut paham apa yang Viko pikirkan.
Mencari pria atau wanita yang tepat itu penting, tetapi berusaha untuk menjadi pria atau wanita yang tepat bagi pasangan itu jauh labih penting.
Previous
Next Post »
Partner Kiryuu